Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Koran: Benteng Terakhir Jurnalisme Mendalam

19 April 2025   19:02 Diperbarui: 21 April 2025   10:41 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca koran sudah langka terlihat di era digital (dok. pribadi/kolase)

"Good journalism is not about speed, but about understanding." Kalimat itu terngiang di kepala saya suatu pagi, sembari jari-jari ini menekan layar ponsel yang dipenuhi notifikasi berita. 

Tapi ingatan justru melayang ke tahun 1990-an, ketika tangan saya membuka koran di teras rumah. Suara gesekan kertas yang khas, aroma tinta yang menusuk hidung, dan sensasi halaman yang kadang melukai jari jika tergores terlalu cepat. 

Itu adalah ritual pagi: duduk tenang, membaca koran sambil menyeruput kopi susu. Kini, semua terasa seperti kisah dari zaman yang berbeda. 

Di sudut Kota Palu, warung kopi yang dulu dipenuhi orang membaca koran kini hanya ramai oleh suara klik ponsel. Di sekolah-sekolah, siswa lebih asyik membuka Instagram daripada membawa kliping berita. Bahkan di kantor pemerintah, tumpukan koran di meja resepsionis kerap tertutup debu, seolah menjadi hiasan yang tak lagi disentuh. 

Data dari Asosiasi Perusahaan Periklanan Indonesia (APPINA) tahun 2023 menunjukkan, penjualan koran nasional turun 70% dalam dekade terakhir. Tapi di balik angka itu, ada fakta menarik: 34% pembaca koran di daerah masih menganggap media cetak sebagai sumber berita paling terpercaya. 

Mengapa? 

Koran mungkin tak lagi menjadi pusat informasi, tapi ia diam-diam bertahan sebagai penjaga nilai yang mulai hilang di dunia digital: kedalaman. Di era ketika berita viral bisa muncul dan tenggelam dalam hitungan jam, koran mengajarkan kita untuk berhenti sejenak. 

Seperti kata Alan Rusbridger dalam Breaking News (2018), jurnalisme hari ini terjepit antara keinginan mempertahankan bisnis dan memelihara kepercayaan publik.

Media cetak, dengan proses editorial yang ketat, tetap memegang prinsip: setiap kata harus ditimbang, setiap fakta diverifikasi, setiap narasi dibangun dengan kesadaran bahwa kertas yang tercetak tak bisa di-delete. 

Di Jepang, Yomiuri Shimbun---koran dengan sirkulasi tertinggi di dunia---masih dicetak untuk 8 juta pelanggan. Di Indonesia, Kompas dan Jawa Pos bertahan bukan karena naif, tapi karena mereka paham bahwa sebagian pembaca rindu pada tulisan yang tak sekadar clickbait. 

Seorang kakek di Palu bercerita, "Saya masih langganan koran karena beritanya utuh. Kalau di internet, judulnya bombastis, tapi isinya dangkal." Ini bukan nostalgia, melainkan bukti bahwa ada ruang untuk jurnalisme yang lambat, merenung, dan manusiawi. 

Tapi bisakah koran bertahan di tengah gempuran digital? 

Jawabannya rumit. Di satu sisi, media cetak jelas menyusut. Tapi di sisi lain, ia menemukan bentuk baru sebagai simbol perlawanan. The New Yorker, misalnya, tak hanya mencetak edisi mingguan, tapi juga menjual merchandise bertema artikel legendaris. 

Di Sulawesi Tengah, koran lokal seperti Mercusuar dan Radar Sulteng bertahan dengan fokus pada isu hiperlokal yang tak tersentuh media nasional. Mereka tak lagi mengandalkan iklan korporasi, tapi beralih ke langganan komunitas dan edisi untuk acara spesial. 

Ini bukan sekadar bisnis. Ini tentang menjaga martabat. 

Di tengah banjir informasi, koran mengingatkan kita bahwa jurnalisme bukanlah lomba lari, tapi maraton. Riset Universitas Stanford tahun 2022 membuktikan, pembaca koran cetak memiliki retensi informasi 30% lebih tinggi daripada pembaca daring. Mengapa? 

Karena membaca di kertas melibatkan lebih banyak indra: mata yang fokus (tanpa gangguan iklan pop-up), tangan yang membalik halaman (bukan men-scroll tanpa henti), dan pikiran yang terlatih untuk menyerap alur cerita. 

Tapi tantangannya nyata. Generasi muda lebih memilih TikTok ketimbang koran. Menurut Survei Literasi Digital Indonesia 2023, 89% remaja mengakses berita melalui media sosial, dan hanya 4% yang membaca koran fisik. 

Namun, di balik angka itu, ada celah harapan: 62% responden mengaku lelah dengan hoaks dan berita sensasional. Di sinilah peluang media cetak---atau setidaknya prinsip-prinsipnya---untuk kembali diadaptasi. 

Seorang teman jurnalis bercerita, "Dulu, deadline kami pagi untuk terbit esok hari. Sekarang, deadline adalah real time. Tapi saya masih menyimpan kebiasaan lama: menulis draf di kertas sebelum diketik." Ritual kecil itu, baginya, adalah cara menjaga etos jurnalistik: tak terburu-buru, meski dunia menuntut kecepatan. 

Koran mungkin suatu hari akan punah. Tapi prinsip di baliknya---kedalaman, akurasi, dan empati---tidak boleh ikut mati. Seperti kata Ryszard Kapuciski, "Wartawan yang baik adalah yang memahami, bukan hanya melaporkan." 

Di era algoritma, pemahaman itu bisa datang dari artikel panjang di situs web, podcast investigasi, atau newsletter spesialis. Tapi bagi sebagian orang, ia tetap terasa lebih otentik ketika tercetak di atas kertas, dengan tinta yang kadang menempel di jari. 

Pada akhirnya, pertanyaan bukanlah "apakah koran akan bertahan?" melainkan "apakah kita masih punya ruang untuk berhenti, merenung, dan memahami?" 

Di desa kecil di Sigi, Sulawesi Tengah, saya pernah bertemu seorang guru yang menggunting artikel koran untuk bahan mengajar. "Ini cara saya mengajarkan anak-anak berpikir kritis," katanya. Di tangannya, koran bukanlah benda usang, tapi jendela pengetahuan. 

Mungkin itu jawabannya: selama masih ada orang yang merindukan kedalaman, koran---atau jurnalisme yang diwakilinya---akan tetap hidup. 

Bukan sebagai fosil, tapi sebagai pedoman diam-diam yang mengingatkan kita: dalam dunia yang sibuk, kebijaksanaan tumbuh dari kesabaran, bukan kecepatan. 

Dan seperti kata hook di awal: Good journalism is not about speed, but about understanding. Prinsip itu takkan lekang, di mana pun ia hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun