Dulu, membaca berita ibarat menyeruput kopi tubruk di cafe langganan: ada aroma kebenaran yang menyengat, ada pahitnya realita yang membangunkan, dan ada gula kritik yang membuat kita tersadar.
Sekarang? Membuka portal berita terasa seperti tersesat di pasar kaget digital. Di setiap sudut, ada teriakan clickbait menawarkan diskon sensasi, iklan pop-up yang mengganggu seperti lalat di mangkuk soto, dan artikel-artikel yang sebenarnya hanya sampah berpita SEO.
Media massa, yang dulu diagung-agungkan sebagai pilar keempat demokrasi, kini menjelma menjadi influencer gadungan---lebih sibuk "jual muka" ketimbang menyampaikan fakta.Â
Mari kita mulai dengan analogi yang jujur: media online saat ini adalah zombi. Tubuhnya masih bergerak, matanya melotot, tapi jiwa jurnalistiknya sudah mati. Darah yang mengalir di nadi mereka bukan lagi idealisme, melainkan AdSense dan Google Analytics.
Setiap kali kita mengklik berita, zombi itu menggeram: "Kasih aku lebih banyak view... atau kau akan kubuat membaca 15 iklan sebelum sampai ke paragraf kedua!" Lalu kita pun terpaksa menari-nari di labirin banner judi online dan skincare abal-abal, sambil bertanya-tanya: Inikah masa depan jurnalisme?Â
Masalahnya bukan pada keberadaan iklan. Bahkan media sepeninggalan Noah pun butuh uang untuk membangun bahteranya. Yang bikin runyam adalah ketika etalase produk lebih dominan daripada isi berita.
Bayangkan: Anda masuk ke toserba bernama "Portal Berita Terpercaya", tapi yang Anda temui adalah rak-rak penuh promosi, sementara berita tentang korupsi atau krisis iklim tersembunyi di lorong belakang---itu pun harus scroll tujuh halaman dengan lima iklan video otomatis yang memekakkan telinga. Persis seperti mencari jarum di tumpukan spam.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan iklan adalah napas kehidupan bagi media daring. Namun, dalam prosesnya, media seperti mayat berjalan yang dipompa dengan Google Adsense dan algoritma SEO, sehingga identitas mereka tersamar di balik deretan angka dan statistik.
Bukankah ini sudah menyerupai perbudakan digital? Perusahaan-perusahaan media telah menyerahkan kendali kreativitas dan integritas mereka kepada raksasa teknologi seperti Google dan Meta, berharap sekadar mendapatkan remah-remah dari meja makan Silicon Valley. Sedangkan yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran, kini berubah menjadi pedagang klik yang rela mengorbankan pembaca demi keuntungan semata.
 Media massa hari ini ibarat pedagang asongan di stasiun kereta: menjajakan berita cepat saji, tanpa nutrisi, hanya demi remah-remah view. Judulnya bombastis---"Heboh Caisar YKS 'Masuk' Rumah Sakit Jiwa", eh ternyata isinya cuma Caesar menyambangi rumah sakit untuk bikin konten. Kegiatan riset, wawancara mendalam, dan verifikasi fakta yang menjadi jiwa jurnalisme telah tergantikan dengan keharusan menulis judul-judul clickbait yang mampu menarik perhatian algoritma mesin pencari.