Ada pula media online menulis paragrafnya dipenggal-penggal ala daging sapi oplosan: satu halaman cuma berisi tiga kalimat, sisanya dipaksa mengklik "Lanjutkan" sambil disuguhi iklan dating app. Licik? Sudah pasti. Tapi ketika model bisnisnya mengandalkan traffic semata, jangan heran jika kualitas berita turun ke level gorengan tengah malam---renyah di luar, tapi hampa di dalam. Â
Di luar negeri, meski iklan tetap ada, media masih menjaga marwahnya. The Guardian punya opsi donasi, New York Times menggalang langganan berbayar, dan mereka tetap menjaga jarak dari keserakahan algoritma.
Sementara di sini, media lokal lebih mirip pedagang di pasar loak: reuse berita dari media lain, tambahkan dikit-dikit opini, lalu jual dengan kemasan viral. Alih-alih menjadi penjaga demokrasi, mereka malah jadi tukang stempel bagi narasi penguasa. Seorang wartawan senior pernah berkelakar: "Dulu, kami menulis untuk menggulingkan rezim. Sekarang, kami menulis agar postingan pemilik media bisa trending."Â
Konsentrasi kepemilikan media adalah biang keroknya. Coba tebak, berapa banyak konglomerat yang menguasai 80% media nasional? Jawabannya: cukup hitung jari satu tangan. Ketika pemiliknya punya kepentingan bisnis dan politik, jangan harap media bisa kritis. Berita tentang penggusuran dihapus karena bos media punya proyek properti di situ. Kasus korupsi partai tertentu dibungkam karena pemilik media adalah ketua dewan pembinanya. Hasilnya? Media bukan lagi cermin realita, melainkan filter Instagram yang memoles borok jadi aesthetic.Â
Turunnya standar jurnalistik juga tak bisa dipungkiri. Dulu, wartawan menghabiskan mingguan untuk investigasi. Sekarang? Cukup copy-paste cuitan Twitter, tambahin kata "viral" di judul, dan voil! Berita jadi. Ada yang lebih parah: media kerap jadi corong hoaks karena tak mau ketinggalan trending topic.
Wartawan senior yang mengaku sudah pensiun, setelah mengabdi selama puluhan tahun, mengungkapkan kekhawatiran mendalam tentang kondisi jurnalisme saat ini. Salah seorang dari mereka pernah berkata bahwa buku karya Danny Schechter yang berjudul The Death of Media: And the Fight to Save Democracy menggambarkan media arus utama sebagai kapal Titanic. Dahulu, kapal itu gagah dan disegani, namun kini penuh kebocoran, dihantam oleh es gunung kapitalisme media dan teknologi digital yang tak kenal ampun.
Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah hilangnya kepercayaan publik. Survei Reuters Institute 2023 menyebut, hanya 34% orang Indonesia yang percaya pada media---lebih rendah daripada kepercayaan pada influencer medsos.
Kenapa? Karena media terlalu sering nge-gas: saat ada isu politik, mereka jadi juru kampanye; saat ada bencana, mereka sibuk menjual iklan penggalangan dana. Publik pun muak. Mereka beralih ke podcast atau platform alternatif, yang meskipun tak sempurna, setidaknya jujur tentang keberpihakan mereka.Â
Di tengah situasi ini, masih adakah harapan? Tentu. Media alternatif dan jurnalisme warga mulai bermunculan, meski dengan sumber daya terbatas. Mereka membuktikan bahwa jurnalisme bisa hidup tanpa menjual jiwa---dengan mengandalkan donasi, langganan, atau kerja sukarela.
Tapi tantangannya besar: bagaimana membuat publik peduli? Sebab, di era yang memuja instant gratification, berita mendalam seperti sayur tanpa micin---dianggap membosankan.Â
Solusinya mungkin ada pada reinkarnasi nilai-nilai jurnalistik klasik. Wartawan harus kembali ke lapangan, bukan cuma mengutip rilis pers. Redaksi perlu mengurangi ketergantungan pada iklan dengan model bisnis kreatif---misalnya, kerja sama dengan komunitas atau konten premium yang benar-benar berkualitas. Yang terpenting: media harus memilih---apakah ingin jadi tukang obat di pasar yang menjual ilusi, atau kembali menjadi lentera yang menerangi kegelapan?Â