Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Zelensky vs Trump: Ketika Diplomasi AS-Rusia Abaikan Suara Sang Korban

19 Februari 2025   15:20 Diperbarui: 19 Februari 2025   15:20 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zelensky vs Trump (kolase, AFP/Yonhap News)

 

Dunia internasional kembali diguncang drama geopolitik yang memanas. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dengan wajah lelah namun penuh tekad, sekali lagi menegaskan penolakannya terhadap segala bentuk perundingan damai yang mengabaikan negaranya.

Sikapnya ini muncul sebagai respons keras terhadap pembicaraan rahasia AS dan Rusia di Arab Saudi---sebuah pertemuan yang disebut "sangat baik" oleh mantan Presiden AS Donald Trump, tetapi justru dianggap Zelensky sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan Ukraina. 

Trump, yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang blak-blakan, tak ragu menyulut kontroversi. Dalam konferensi pers di Mar-a-Lago, Florida, ia secara terbuka menyalahkan Ukraina sebagai "pemicu perang", bahkan menyarankan agar Zelensky menggelar pemilu presiden secepatnya.

"Setelah tiga tahun, perang seharusnya berakhir. Kita tidak seharusnya memulainya," ujarnya, seolah melupakan fakta bahwa perang ini dimulai oleh invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.

Pernyataan Trump ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga mengundang kritik pedas. Corey Schake dari American Enterprise Institute (AEI) menyebutnya sebagai "pembalikan memalukan" kebijakan luar negeri AS yang telah bertahan sejak Perang Dunia II. 

Di sisi lain, Zelensky---yang tingkat persetujuannya disebut Trump hanya 4%---justru menunjukkan keteguhan yang jarang terlihat. Dalam wawancara dengan The Guardian dan New York Times, ia menegaskan bahwa "tidak ada keputusan tentang cara mengakhiri perang di Ukraina yang bisa dibuat tanpa Ukraina."

Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari prinsip yang dipegangnya sejak hari pertama invasi: kedaulatan Ukraina adalah harga mati. Bahkan, Zelensky sampai menunda kunjungannya ke Arab Saudi sebagai bentuk protes, dengan alasan "tidak ingin mengambil risiko" terlibat dalam pembicaraan yang mengabaikan posisi negaranya. 

Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di balik layar? Pertemuan AS-Rusia di Arab Saudi disebut membahas normalisasi misi diplomatik, pembentukan tim negosiasi damai, dan peluang kerja sama ekonomi pascaperang.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio bahkan mengisyaratkan pencabutan sanksi terhadap Rusia jika perang berakhir. Namun, detail ini justru mengkhawatirkan banyak pihak. Bagi Ukraina, pembicaraan semacam itu terasa seperti pengorbanan kepentingan mereka demi kepentingan AS dan Rusia.

Apalagi, tuntutan Rusia agar pemilu Ukraina digelar sebelum perjanjian damai---sebuah langkah yang bisa membuka jalan bagi pemerintahan pro-Rusia---dianggap Zelensky sebagai upaya merongrong demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun