Trump, yang kerap memuji kedekatan dengan Putin, juga membuat pernyataan mengejutkan tentang "ribuan tentara Korea Utara" yang tewas di medan perang. Klaim ini belum dikonfirmasi oleh Rusia maupun Korea Utara, tetapi jika benar, bisa menjadi bukti adanya aliansi militer terselubung antara kedua negara---sesuatu yang memperumit peta konflik.
Di saat yang sama, Trump menegaskan bahwa AS tidak akan mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina dengan alasan geografis: "Karena kita berjauhan." Pernyataan ini kontras dengan dukungan militer AS sebelumnya, yang justru menjadi tulang punggung pertahanan Ukraina.Â
Reaksi Zelensky terhadap semua ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak awal perang, ia dikenal sebagai pemimpin yang lihai memanfaatkan diplomasi publik. Dari video pidato di depan parlemen negara-negara Barat hingga kampanye media sosial yang viral, Zelensky berhasil mengubah narasi perang dari "konflik regional" menjadi "pertarungan antara demokrasi dan otoritarianisme.
"Namun, kali ini, nada bicaranya berbeda. Ada kegelisahan yang terasa ketika ia menyebut pertemuan AS-Rusia sebagai "ultimatum Putin yang dibungkus diplomasi." Baginya, ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan pertaruhan harga diri bangsa yang telah bertahan di bawah gempuran roket, kehilangan wilayah, dan puluhan ribu nyawa melayang.Â
Yang menarik, New York Times mencatat pergeseran strategi Zelensky. Jika sebelumnya ia berusaha "memikat" Trump dengan janji transparansi dan kerja sama, kini ia justru mengambil sikap konfrontatif.
Ini mungkin terdengar riskan, mengingat Trump bisa kembali menjadi presiden AS pada 2024. Tapi bagi Zelensky, prinsip tidak bisa dikompromikan. "Bahkan di saat paling sulit, Ukraina menolak ultimatum Rusia. Mengapa sekarang kami harus menerimanya?" ujarnya.Â
Di tengah hiruk-pikuk ini, Uni Eropa---yang juga menjatuhkan sanksi ke Rusia---tampak berdiri di persimpangan. Rubio menyebut bahwa "Rusia harus datang ke meja perundingan," tetapi tanpa kejelasan mekanisme yang melibatkan Ukraina, pernyataan itu terdengar hampa. Apalagi, desakan AS untuk mencabut sanksi bisa diinterpretasikan sebagai kemenangan diplomasi Rusia, yang sejak awal ingin melemahkan solidaritas Barat.Â
Pertanyaannya kini: apakah perundingan AS-Rusia tanpa Ukraina adalah langkah pragmatis untuk mengakhiri perang, atau bentuk pengabaian terhadap korban agresi? Bagi Zelensky, jawabannya jelas.
Ia menegaskan bahwa wilayah timur dan selatan yang kini dikuasai Rusia "akan tetap menjadi bagian Ukraina, tanpa kompromi." Ini adalah pesan tegas bahwa perdamaian tidak bisa dibangun di atas penderitaan satu pihak.Â
Namun, realpolitik seringkali tidak seideal itu. Trump, dengan logika "deal-maker"-nya, mungkin melihat perang Ukraina sebagai masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan transaksi.
Tapi bagi Ukraina, ini adalah soal eksistensi. Ketegangan antara dua perspektif ini memperlihatkan betapa rumitnya konflik yang telah berlangsung dua tahun lebih. Di satu sisi, tekanan global untuk menghentikan pertumpahan darah semakin besar. Di sisi lain, mengorbankan prinsip kedaulatan bisa menjadi preseden buruk bagi keamanan internasional.Â