Beberapa malam ini aku sering melihatmu berjalan-jalan di pekarangan rumahmu. Mengendap-endap dalam temaram, menggali tanah diam-diam. Menghambur bibit-bibit hujan yang telah kau petik di langit yang kelam. Lalu membenamkannya dalam-dalam.
Terkadang, kau hanya mengubur barang-barang rongsokan, yang tak pernah bisa utuh kembali. Seperti sepatu tanpa tali yang hanya sebelah, vas bunga yang pecah, juga hati dengan luka yang masih berdarah.
Terkadang pula, kau bergegas memangkas sesuatu yang mencoba untuk bertunas. Seperti rumput-rumput liar yang kerap menjalar, jamur-jamur berbahaya yang selalu muncul tiba-tiba, juga rindu dengan kenangan yang masih meramu racikan-racikan pilu.
Kali ini aku datang, Puan.
Aku akan mengangkatmu dari kubangan masa lalu dan realita yang membunuh. Membawakanmu secangkir coklat panas, sweeter rajut yang hangat, juga diriku, orang bodoh yang selalu siap mendengarkan semua keluh-kesahmu.
Aku juga akan mendirikan tenda untuk  melewati hawa dingin malam yang buta. Menanam bibit pelangi yang bisa kau lihat di pagi hari. Dan mungkin aku akan menjadi hal-hal yang kau ingini. Seperti sandaran di ringkih sedihmu, peluk di gigil hatimu, juga kecup di gelugut bibirmu.
Meski aku tak pernah tahu, esok pagi kau akan pergi membawa sekelumit kisah tentang orang dengan banyak igauan yang bodoh, atau kau akan tinggal di sini sebagai mimpi yang nyata ketika aku terbangun membuka mata.
Angsana, 18 Februari 2020