Mohon tunggu...
Julak Ikhlas
Julak Ikhlas Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah dan Fiksi

Julak Anum - Menulis adalah katarsis dari segenap sunyi. IG: https://www.instagram.com/ikhlas017 | FB: https://web.facebook.com/ikhlas.elqasr | Youtube: https://www.youtube.com/c/ikhlaselqasr

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Indah di Langit-langit yang Basah

31 Mei 2019   12:55 Diperbarui: 31 Mei 2019   12:59 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Siang itu, mendung menyelimuti cakrawala, penuh dengan arak-arakan awan. Dari arah barat, terlihat gumpalan besar yang sangat hitam. Dua insan beberapa saat dilanda kebekuan di bangku taman. Keduanya tampak membisu. Dua raut wajah yang tampak begitu hampa. Hanya kegetiran yang jelas terpancar dari empat mata yang saling memandang liukan bunga yang menari gemulai.

Perempuan berwajah oval dengan alis yang terukir indah itu bangkit dari tempat duduk seraya memalingkan muka. "Menyerahlah!"

"Tidak, kau yang seharusnya menyerah. Berapa kali pun kau menolakku, aku tetap tak akan goyah." Kesungguhan tampak jelas terlihat dari raut wajah Hamdi, pemuda itu masih bersikukuh.

"Ta-tapi aku tak mencintamu." Fitri terbata, tak berani melirik lelaki di sampingnya.

"Bohong ... aku tahu kau mencintaiku. Jujurlah! Jangan membohongi dirimu sendiri."

"Maafkan aku. Aku harus pergi."

Tak sempat Fitri melangkah, Hamdi menarik tangan mungil itu dan mendekapnya.

"Aku mohon, terimalah cintaku dan jadilah pendamping hidupku, Fit." Sorot mata Hamdi begitu sayu. Terlihat jelas, rasa putus asa dan kesungguhan melebur menjadi satu.

"Tidak, Hamdi. Aku tak bisa, kau tak pantas untukku, dan aku pun tak pantas untukmu," ucap Fitri dengan nada setengah berteriak.

Fitri mengempaskan tangannya kuat-kuat agar bisa lepas dari pegangan Hamdi. Kemudian ia berlari kencang meninggalkan tubuh yang seketika membeku. Tangis yang sejak tadi tertahan, kini pecah tak terbendung lagi. Air mata berderai deras sebanyak inginnya untuk hidup bersama Hamdi, si mimpi indah di langit-langit yang basah. Namun keadaan mengutuk segala, memupus seluruh keinginannya hingga ke akar.

Bukan, bukan karena keadaan lebih tepatnya. Melainkan ada sesuatu yang tak mungkin diterima dari sebuah kekurangan. Biarlah kegetiran menjadi saksi jika dia memendam cinta tanpa harus memiliki pria itu.

"Fitri ... selama kau belum menerima cintaku, aku akan tetap di sini, di taman ini!" teriak Hamdi untuk memangkas jarak yang hampir kehilangan saujananya. Entah terdengar oleh Fitri atau tidak, ia tak tahu.

Rambut klimis yang tersisir rapi itu, kini tak keruan diterpa angin yang begitu kencang. Awan-awan hitam pun terarak sedemikian rupa, lalu berkumpul di satu titik, tepat di atas ubun-ubunnya. Rupanya, sebentar lagi akan hujan. Hamdi terdiam, ledakan-ledakan yang meletup dalam rongga dadanya kian menggelora.

Benar saja, hujan telah turun setitik demi setitik lalu berubah menjadi serbuan air yang begitu deras. Hamdi benar-benar dilanda kebasahan yang getir semenjak kepergian Fitri. Kantong-kantong luka yang masih merah lantas tergenangi, menciptakan perih teramat menyiksa.

Ia mematung di tengah derasnya hujan, seolah pasrah menerima basah. Mati kedinginan pun rasanya mau ia coba. Baginya, semangat untuk hidup itu cinta, sedangkan cinta itu hanya berwujud dengan nama Fitri. Tanpa Fitri, ia kosong tak punya semangat, hampa tak bermakna. Bagaikan ditinggal separuh nyawanya pergi, maka saat ini, mati adalah pilihan terbaik, lebih baik dari apa pun.

Mengenal Fitri, lalu mencintainya, bagaikan sebuah mimpi bagi Hamdi. Bagaimana sorot teduh milik perempuan itu berhasil menguasai relung hatinya kemudian bertahta di sana.

Padanya, Hamdi menaruh harapan. Jiwa kerontang yang hampir mati tersebut, bagaikan tersiram air kehidupan. Fitri adalah segalanya, tempat melabuhkan hati dan impian.

Namun, bagaimana bila sang pemilik hatinya bersemayam justru tak memberikan respons sama? Malah bersikeras hendak memotong tali yang mengikat mereka.

Hamdi ingat betul, pada fajar yang baru saja menampakkan dirinya, seorang wanita dengan tubuh semampai mampir di tokonya, sebagai pelanggan pertama.

Tidak ada percakapan atau perkenalan spesial. Sebagaimana layaknya interaksi penjual dan pembeli, Hamdi berusaha menetralkan seluruh luapan rasa. Bintang fajar yang biasanya bertahta di langit, kini turun lalu menetap di sorot milik Fitri.

Mungkin aneh bagi sebagian orang, cinta dalam pandangan pertama. Namun, itulah yang dirasakan Hamdi. Tidak, bukan karena fisik indah milik Fitri. Melainkan, sirat keteguhan yang terpancar di sana.

"Kau jangan pernah menaruh hati padaku, Hamdi. Aku hanya wanita asing bagimu. Terlalu cepat untuk menjalani semua ini."

Hamdi masih ingat, ucapan pertama wanita itu saat ia mulai intens mendekatinya.

"Biarlah semuanya mengalir apa adanya, Fit. Jodoh bukan kita yang mengatur."

Ingin rasanya Hamdi menuntut tanggapan dari wanita itu, tetapi justru Fitri terbungkam. Sorot matanya sayu, seperti lembayung senja pada sore yang bermuram durja.

Tidak ada percakapan lagi. Hamdi ingin memaksa, tetapi lagi-lagi, Fitri memasang perisainya.

****

"Bodoh ... kenapa kau keras kepala sekali?" Fitri melepas payung begitu saja, lalu kembali menghambur tangisnya di tengah hujan. Seulas senyum getir menghiasi bibir.

Hamdi menegakkan kepala, dengan mata berbinar, ia berucap, "Kau kembali artinya kau peduli." Ditutupnya dengan tawa yang bercampur getir, terdengar aneh sekali.

"Tidak, aku akan menunjukkan suatu alasan bahwa aku tak pantas untukmu, tidak lebih." Fitri lagi-lagi tak sanggup melihat wajah Hamdi. Wajah tak berdosa itu kian membuatnya bersalah.

Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun