Aroma sunyi makin terasa di altar senja. Saat ronanya bingkas di kaki-kaki keheningan. Seiring satu-dua hentakan matahari membuka gerbang malam, yang membias temaram, buramkan pandangan.
Sekilat bintang sore jatuh di pangkuan cakrawala. Menyunting bisik-bisik kagumku yang telanjur malu mengemuka. Memantik berani untuk menata kata, mengeja makna, membaca aksara-aksara rasa yang merenjana.
Panggung ini telah kelam oleh arak-arakan gelap memekatkan alam. Bergumul bersama badai air mata yang meluruhkan nestapa. Alunan kidung harapan bergaung kembali untuk memangsa kediaman diri.
Telah banyak kuhabiskan waktu hanya untuk mendambamu, pesona semesta yang menjadi nyawa hidupku. Demi sebilangan jari yang telah terkulum wirid-wirid cinta. Segala lapal doa yang senantiasa menyematkan pinta. Marilah kita beranjak dari sudut kediaman paling berisik ini. Â Tuntaskan pandangan tanpa suara yang terbatas di antara kisi-kisi jendela.
Anjungan itu telah menanti untuk kita isi. Mendiskusikan mimpi-mimpi kita yang tertanam lama dalam getaran yang sama. Hingga fajar menyapa hati dengan senyum persetujuan. Bahwa kita sepakat dalam ikat temali cinta yang penuh kebahagian.
Angsana, 24 April 2019