Di sisi lain, ditemukan realitas bahwa komplain besar terhadap layanan BPJS Kesehatan, ternyata bukan dari kaum miskin, melainkan kelas menengah yang malas bayar iuran. Mereka lebih mengedepankan hak ketimbang kewajibannya.
Tetapi masih ada yang lebih paradoks menurut Prof. Rhenald Kasali. Ini soal bagaiman kaum superkaya memaknai arti kemiskinan.
Jika seseorang yang tak pernah hidup melarat lalu ujug-ujug bisa menjadi presiden atau wakilnya, benarkah mampu membuat program yang "meaningful" (berarti) untuk memberantas kemiskinan?
Sementara presiden kita saat ini, Joko Widodo berlatar belakang dari orang yang pernah mengalami hidup miskin, hidup di bantaran kali dan pernah menjadi tukang kayu. Tentu memiliki empati, sense of crisis yang kuat memahami arti kemiskinan sehingga sangat hati-hati dalam mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Beliaupun dalam sebuah wawancara khusus pernah menyampaikan bahwa sebuah kebijakan itu bukan persoalan populer atau tidak populer.
Kita harus memahami bahwa keputusan sulit menaikkan harga BBM subsidi sebenarnya telah ada sinyal jika kita menyimak pidato RAPBN 2023, bahwa Presiden tetap memberikan optimisme dengan menawarkan APBN yang "waspada, antisipatif dan responsif".
Waspada dalam menjawab ketidakpastian global, antisipatif dalam menjawab dinamika perkembangan global dan responsif dalam menjawab kebutuhan dasar rakyat dengan mempertimbangkan skala prioritas.
"Arsitektur APBN tahun 2023 harus mampu meredam keraguan, membangkitkan optimisme, dan mendukung pencapaian target pembangunan, namun tetap dengan kewaspadaan yang tinggi," Jokowi
Semoga bangsa Indonesia selamat melewati badai ketidakpastian ekonomi global.