Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ironi Kemiskinan di Tengah Disrupsi Teknologi

7 September 2022   11:07 Diperbarui: 7 September 2022   11:11 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Misalnya saat ini banyak bermunculan podcast dengan konten asal, sesuka hati menilai pemerintah tanpa data.
Mereka seolah ikut mengambil "keuntungan" dalam memanfaatkan situasi. Padahal hidup mereka jauh diatas rakyat yang benar-benar dibawah garis kemiskinan.

Disrupsi teknologi telah menggeser tatanan, etika dan prilaku. Orang bisa melakukan apa saja sesuka hati untuk meraup keuntungan pribadi.

Makin bebas dan "ngawur" pandangannya di media sosial malah makin banyak "views" (ditonton) atau menjadi "thread" (tweet berantai yang membahas topik tertentu di Twitter).

Yang paling ironis adalah orang yang menyebut diri menguasai ilmu agama yang seharusnya penuh dengan pesan damai dan sejuk malah kalah oleh konten yang menghasut dan menyampaikan ujaran kebencian.

Memang benar apa kata orang bijak bahwa jika seseorang tidak mampu menjual ide/gagasan maka dia akan lakukan dengan cara lain yang mengaduk emosi masyarakat.

Menurut hasil riset seorang Guru Besar Ekonomi-Bisnis UI, Prof. Rhenald Kasali dalam artikelnya "Orang-orang Kaya Yang Mengeluh Hidupnya Semakin Susah" disebutkan bahwa sebagian orang-orang kaya Indonesia yang merasa hidupnya semakin sulit hanya bisa komplain saja.

Padahal dalam dinamika kehidupan ada kalanya kita memenangkan sebuah perjuangan hidup dan terkadang kita harus belajar dari kehidupan. Ibarat roda yang tak selamanya ada di atas.

Begitu pula dengan kekuasaan yang bisa membentuk post power sindrom. Jika tak bijak maka mereka akan mudah menghakimi pemerintah padahal saat mereka diberi kekuasaan tak mampu berbuat untuk kemaslahatan orang banyak.

Hasil riset Prof. Rhenald Kasali juga memperlihatkan prilaku sebagian orang kaya Indonesia yang tidak pernah puas. Ternyata kata-kata negatif, benci pada keadaan, justru banyak dikeluarkan oleh mereka yang hidupnya, maaf, kering-kerontang atau yang terbiasa mengedepankan identitas kelompok.

Dan yang lebih menarik lagi, mereka yang merasa hidupnya tambah susah itu, selalu terkait dengan kata "rakyat." Padahal yang ada di otak mereka selalu mencari celah untuk ambil keuntungan ekonomi.

"Sama seperti Anda, saya berpikir mereka sedang butuh uang (BU), "pasti harganya turun." Ternyata mereka berkata lain. "Tidak dong. Dollar naik, harga tanah dan bangunan juga naik dong." Ternyata mereka tidak sedang BU, tetapi mencari keuntungan juga," Prof. Rhenald Kasali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun