Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Ironi Kemiskinan di Tengah Disrupsi Teknologi

7 September 2022   11:07 Diperbarui: 7 September 2022   11:11 278 3
Pandemi Covid telah menciptakan kemiskinan baru, banyak pengusaha tumbang dan terpaksa memPHK karyawannya, banyak orang kehilangan penghasilan lalu diperparah oleh Perang Rusia-Ukraina yang memberi dampak luas atas krisis pangan, energi dan keuangan global.

Ada negara yang menjadi bangkrut, beruntung Indonesia tetap selamat. Berbagai kebijakan telah diambil dalam rangka pemulihan ekonomi dan jaring pengaman sosial.

Keputusan tidak populerpun harus diambil dengan menaikkan harga BBM subsidi.
Lalu kebijakan inipun menimbulkan reaksi penolakan dengan aksi demo yang tentunya dengan alasan rakyat semakin susah.

Namun sesusah susahnya "rakyat" Indonesia ternyata sebagai penyumbang terbesar pendapatan platform media sosial seperti TikTok, Facebook, YouTube, Instagram dan Twitter.

Dan "jangan jangan" juga sebagai penyumbang pendapatan Onlyfams. OnlyFans sebenarnya memiliki cita-cita untuk menjadi wadah bagi para kreator konten, seperti musisi, gamer hingga youtuber, yang ingin memonetisasi karyanya.

Sayangnya, saat ini "karya" pembuat konten di OnlyFans banyak diisi dengan muatan pornografi yang sangat vulgar, bahkan membuatnya terlihat seperti situs video porno.

Menurut laporan outlet media The Guardian, OnlyFans membukukan pendapatan senilai 4,8 miliar dollar AS atau setara Rp 71,5 triliun.

Pendapatan tersebut ini berlipat ganda dari tahun sebelumnya, 2020 yang mencatat penjualan senilai 2 miliar dollar AS (sekitar Rp 28,9 triliun).

Artinya laba OnlyFans itu melonjak 615 persen dari tahun sebelumnya. Ini dilaporkan menjadi rekor keuntungan tertinggi OnlyFans sejak platform ini didirikan pada 2016 silam.

(Sumber: Kompas)

Saat ini terjadi fenomena bahwa banyak orang Indonesia yang mampu (kaya) menyebut keadaan sekarang di Indonesia makin sulit. Bahkan tak sedikit yang meramaikan media sosial dengan narasi pesimisme bahkan begitu gampangnya menghakimi pemerintah yang mereka sebut gagal.

Misalnya saat ini banyak bermunculan podcast dengan konten asal, sesuka hati menilai pemerintah tanpa data.
Mereka seolah ikut mengambil "keuntungan" dalam memanfaatkan situasi. Padahal hidup mereka jauh diatas rakyat yang benar-benar dibawah garis kemiskinan.

Disrupsi teknologi telah menggeser tatanan, etika dan prilaku. Orang bisa melakukan apa saja sesuka hati untuk meraup keuntungan pribadi.

Makin bebas dan "ngawur" pandangannya di media sosial malah makin banyak "views" (ditonton) atau menjadi "thread" (tweet berantai yang membahas topik tertentu di Twitter).

Yang paling ironis adalah orang yang menyebut diri menguasai ilmu agama yang seharusnya penuh dengan pesan damai dan sejuk malah kalah oleh konten yang menghasut dan menyampaikan ujaran kebencian.

Memang benar apa kata orang bijak bahwa jika seseorang tidak mampu menjual ide/gagasan maka dia akan lakukan dengan cara lain yang mengaduk emosi masyarakat.

Menurut hasil riset seorang Guru Besar Ekonomi-Bisnis UI, Prof. Rhenald Kasali dalam artikelnya "Orang-orang Kaya Yang Mengeluh Hidupnya Semakin Susah" disebutkan bahwa sebagian orang-orang kaya Indonesia yang merasa hidupnya semakin sulit hanya bisa komplain saja.

Padahal dalam dinamika kehidupan ada kalanya kita memenangkan sebuah perjuangan hidup dan terkadang kita harus belajar dari kehidupan. Ibarat roda yang tak selamanya ada di atas.

Begitu pula dengan kekuasaan yang bisa membentuk post power sindrom. Jika tak bijak maka mereka akan mudah menghakimi pemerintah padahal saat mereka diberi kekuasaan tak mampu berbuat untuk kemaslahatan orang banyak.

Hasil riset Prof. Rhenald Kasali juga memperlihatkan prilaku sebagian orang kaya Indonesia yang tidak pernah puas. Ternyata kata-kata negatif, benci pada keadaan, justru banyak dikeluarkan oleh mereka yang hidupnya, maaf, kering-kerontang atau yang terbiasa mengedepankan identitas kelompok.

Dan yang lebih menarik lagi, mereka yang merasa hidupnya tambah susah itu, selalu terkait dengan kata "rakyat." Padahal yang ada di otak mereka selalu mencari celah untuk ambil keuntungan ekonomi.

"Sama seperti Anda, saya berpikir mereka sedang butuh uang (BU), "pasti harganya turun." Ternyata mereka berkata lain. "Tidak dong. Dollar naik, harga tanah dan bangunan juga naik dong." Ternyata mereka tidak sedang BU, tetapi mencari keuntungan juga," Prof. Rhenald Kasali.

Di sisi lain, ditemukan realitas bahwa komplain besar terhadap layanan BPJS Kesehatan, ternyata bukan dari kaum miskin, melainkan kelas menengah yang malas bayar iuran. Mereka lebih mengedepankan hak ketimbang kewajibannya.

Tetapi masih ada yang lebih paradoks menurut Prof. Rhenald Kasali. Ini soal bagaiman kaum superkaya memaknai arti kemiskinan.

Jika seseorang yang tak pernah hidup melarat lalu ujug-ujug bisa menjadi presiden atau wakilnya, benarkah mampu membuat program yang "meaningful" (berarti) untuk memberantas kemiskinan?

Sementara presiden kita saat ini, Joko Widodo berlatar belakang dari orang yang pernah mengalami hidup miskin, hidup di bantaran kali dan pernah menjadi tukang kayu. Tentu memiliki empati, sense of crisis yang kuat memahami arti kemiskinan sehingga sangat hati-hati dalam mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Beliaupun dalam sebuah wawancara khusus pernah menyampaikan bahwa sebuah kebijakan itu bukan persoalan populer atau tidak populer.

Kita harus memahami bahwa keputusan sulit menaikkan harga BBM subsidi sebenarnya telah ada sinyal jika kita menyimak pidato RAPBN 2023, bahwa Presiden tetap memberikan optimisme dengan menawarkan APBN yang "waspada, antisipatif dan responsif".

Waspada dalam menjawab ketidakpastian global, antisipatif dalam menjawab dinamika perkembangan global dan responsif dalam menjawab kebutuhan dasar rakyat dengan mempertimbangkan skala prioritas.

"Arsitektur APBN tahun 2023 harus mampu meredam keraguan, membangkitkan optimisme, dan mendukung pencapaian target pembangunan, namun tetap dengan kewaspadaan yang tinggi," Jokowi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun