Perlu dipahami bahwa persoalan akad dalam layanan transportasi online bukan sekadar urusan hukum transaksi, tetapi juga berkaitan erat dengan isu keadilan sosial dan stabilitas ekonomi masyarakat bawah. Mayoritas mitra pengemudi berasal dari kalangan ekonomi rentan yang menggantungkan nafkah harian mereka pada pendapatan dari aplikasi seperti Gojek dan Grab. Oleh karena itu, mekanisme akad yang berlaku, baik yang tertuang secara tertulis dalam sistem maupun yang berlangsung secara praktik, sepatutnya mempertimbangkan keberlanjutan hidup mereka serta keadilan dalam relasi kerja.
Dalam ajaran Islam, transaksi muamalah tidak cukup dinilai dari sisi keabsahan hukum formalnya, namun juga harus mencerminkan kemaslahatan (maslahah) dan keadilan ('adl). Sebuah akad yang tampaknya sah menurut syariat, namun menimbulkan beban berat secara sepihak dalam pelaksanaannya, patut dikaji kembali. Contohnya adalah skema insentif atau target harian yang terlalu tinggi dan tidak realistis, yang dalam praktiknya bisa menyerupai bentuk penindasan ekonomi yang tersembunyi.
Di sisi lain, sistem digital yang serba otomatis cenderung mengurangi kemampuan mitra pengemudi dalam mempertahankan haknya. Mereka bisa saja terkena sanksi pemutusan kemitraan sepihak, tanpa adanya ruang pembelaan yang adil. Dalam fiqih, hal ini dapat melanggar prinsip ridha (kerelaan) dalam akad, karena terjadi ketidakseimbangan posisi antara penyedia layanan dan mitra pengguna sistem.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap skema kemitraan di platform digital harus mengedepankan keadilan dan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Prinsip syariah tidak cukup hadir dalam bentuk regulasi atau fatwa semata, tetapi mesti terimplementasi dalam sistem yang berpihak, transparan, dan berorientasi pada nilai kemanusiaan.Aspek Sosial-Ekonomi dalam Perspektif Ijarah pada Layanan Transportasi Digital
Perlu dipahami bahwa persoalan akad dalam layanan transportasi online bukan sekadar urusan hukum transaksi, tetapi juga berkaitan erat dengan isu keadilan sosial dan stabilitas ekonomi masyarakat bawah. Mayoritas mitra pengemudi berasal dari kalangan ekonomi rentan yang menggantungkan nafkah harian mereka pada pendapatan dari aplikasi seperti Gojek dan Grab. Oleh karena itu, mekanisme akad yang berlaku, baik yang tertuang secara tertulis dalam sistem maupun yang berlangsung secara praktik, sepatutnya mempertimbangkan keberlanjutan hidup mereka serta keadilan dalam relasi kerja.
Dalam ajaran Islam, transaksi muamalah tidak cukup dinilai dari sisi keabsahan hukum formalnya, namun juga harus mencerminkan kemaslahatan (maslahah) dan keadilan ('adl). Sebuah akad yang tampaknya sah menurut syariat, namun menimbulkan beban berat secara sepihak dalam pelaksanaannya, patut dikaji kembali. Contohnya adalah skema insentif atau target harian yang terlalu tinggi dan tidak realistis, yang dalam praktiknya bisa menyerupai bentuk penindasan ekonomi yang tersembunyi.
Di sisi lain, sistem digital yang serba otomatis cenderung mengurangi kemampuan mitra pengemudi dalam mempertahankan haknya. Mereka bisa saja terkena sanksi pemutusan kemitraan sepihak, tanpa adanya ruang pembelaan yang adil. Dalam fiqih, hal ini dapat melanggar prinsip ridha (kerelaan) dalam akad, karena terjadi ketidakseimbangan posisi antara penyedia layanan dan mitra pengguna sistem.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap skema kemitraan di platform digital harus mengedepankan keadilan dan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Prinsip syariah tidak cukup hadir dalam bentuk regulasi atau fatwa semata, tetapi mesti terimplementasi dalam sistem yang berpihak, transparan, dan berorientasi pada nilai kemanusiaan.
Tak kalah penting, peran aktif dari para ulama dan regulator perlu terus dioptimalkan. Kajian terhadap model bisnis digital yang terus berkembang harus direspons dengan fatwa-fatwa yang adaptif dan relevan. Dengan demikian, perkembangan teknologi tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, melainkan justru dapat diarahkan untuk mendukung kemaslahatan umat.
Penutup
Hadirnya Gojek dan Grab adalah cermin dari transformasi ekonomi digital yang semakin pesat. Dalam perspektif fiqih muamalah, hal ini tidak serta-merta ditolak, namun perlu dikaji agar setiap inovasi tetap berjalan di atas nilai-nilai syariah yang adil dan proporsional. Dengan pendekatan yang konstruktif, layanan transportasi online dapat terus berkembang sembari membawa manfaat yang berkah bagi seluruh pihak yang terlibat.