Langit sore merona jingga ketika Ina duduk termenung di teras rumahnya. Di tangannya, secangkir teh hangat perlahan mendingin tanpa tersentuh. Pandangannya kosong, seolah mencari sesuatu yang tak kunjung datang. Di lubuk hatinya, ada rindu yang menyesakkan dan dendam yang menyakitkan. Semua itu hanya tertuju pada satu nama: Arif.
Arif adalah bagian dari masa lalunya, cinta pertama yang pernah ia perjuangkan sepenuh hati. Bertahun-tahun lalu, lelaki itu hadir dengan senyum menenangkan, janji-janji manis, dan kehangatan yang membuat Ina merasa dicintai sepenuhnya. Namun, semua itu runtuh ketika janji setia berubah menjadi pengkhianatan.
"Ina, aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu," suara Arif bergema di kepalanya, ucapan yang ia dengar saat Arif tiba-tiba muncul kembali beberapa bulan lalu. Setelah sekian lama menghilang tanpa kabar, Arif datang membawa sesal.
Namun luka itu terlalu dalam.
Ina masih ingat jelas bagaimana ia menunggu pesan yang tak pernah datang, menahan air mata setiap malam, dan menutupi sakitnya dengan senyum palsu di hadapan keluarga. Kepergian Arif kala itu bukan hanya meninggalkan rindu, tetapi juga menggoreskan luka yang sulit sembuh.
"Kalau kau mencintaiku, kenapa harus pergi begitu saja?" batin Ina bergemuruh.
Setiap kali mengingat wajah Arif, hatinya bergetar di antara dua ujung ekstrem. Ada bagian dirinya yang ingin berlari ke pelukan Arif, merasakan kembali hangatnya genggaman tangan itu. Namun ada pula bagian lain yang ingin menolak, bahkan menghukum Arif dengan dinginnya sikap dan tajamnya kata.
Pertemuan terakhir mereka menjadi saksi betapa rapuhnya Ina di hadapan cinta dan dendam. Arif duduk di seberangnya di sebuah kafe sederhana. Tatapan matanya penuh penyesalan, namun Ina justru menahan pandang, takut matanya sendiri akan mengkhianati hatinya.
"Ina, aku salah. Aku menyesal. Aku ingin menebus semuanya," ucap Arif lirih.
Ina terdiam, jarinya mengepal di bawah meja. Kata-kata itu bagaikan obat sekaligus racun. Ia rindu Arif, tapi dendam menahannya untuk percaya kembali.
"Apa kau tahu, Arif," kata Ina akhirnya, suaranya bergetar, "rinduku padamu sering kali lebih menyakitkan daripada dendamku. Karena rindu membuatku ingin memaafkan, sedangkan dendam membuatku ingat pada luka."
Arif terdiam, hanya mampu menunduk.
Sementara Ina tahu, hatinya sedang terombang-ambing di lautan perasaan yang tak berpihak padanya.