Namun bukan berarti kegelisahan itu hilang.
Justru kini, setiap kali aku berbuat salah---berkata kasar, iri hati, menunda-nunda kebaikan---aku seperti langsung ditegur oleh hatiku sendiri.
"Kalau kamu dipanggil malam ini, bagaimana?"
Pertanyaan itu tak pernah benar-benar pergi.
Suatu malam, setelah shalat Tahajud yang masih aku pelajari, aku duduk merenung di sajadah. Hening. Air mataku menetes tanpa suara. Kali ini bukan karena takut, tapi karena rindu. Rindu pada Tuhan yang lama aku abaikan. Rindu untuk menjadi hamba yang lebih baik. Rindu untuk hidup dengan arah yang benar.
Aku sadar, kematian memang misteri. Tapi hidup adalah kesempatan. Selama napas masih ada, aku ingin memperbaiki diri. Meski perlahan. Meski jatuh bangun.
Aku menulis surat pada diriku sendiri:
Ike,
Jika suatu saat kamu dipanggil, semoga kamu dalam keadaan sudah mencoba. Sudah berjalan ke arah-Nya, walau belum sampai. Sudah menyesali dosa-dosa, walau belum bisa menebus semuanya. Sudah mencintai Tuhanmu, walau cintamu belum sempurna.
Semoga kamu wafat dalam usaha.
Surat itu kulipat rapi dan kusimpan di dalam Al-Qur'an.