Dan aku?
Shalat lima waktu pun masih sering bolong. Membaca Qur'an paling hanya di bulan Ramadan. Sedekah? Hanya ketika merasa ada lebih. Bahkan ibadahku pun terasa seperti formalitas.
Lalu, bagaimana bila giliranku tiba?
Aku mulai berubah. Bukan jadi lebih baik, justru sebaliknya. Kegelisahan membuatku menjauh dari orang-orang. Aku jadi lebih banyak diam, murung, dan sering menangis dalam sepi.
Hingga suatu malam, aku memutuskan untuk bicara pada seseorang yang mungkin bisa membantu. Ustazah Laila, guru mengaji di kampung waktu kecil dulu. Beliau kini sudah tua, namun wajahnya selalu tenang, sejuk, seolah damai yang tak tergoyahkan pernah bertamu ke hatinya dan menetap di sana.
"Ustazah," kataku perlahan, "kenapa aku merasa takut sekali? Aku takut mati. Aku takut nggak punya bekal. Aku takut Allah murka..."
Ustazah tersenyum lembut. "Rasa takut itu wajar, Ike. Tapi jangan sampai takut itu menjauhkanmu dari-Nya. Justru rasa takut itu harus jadi jembatan untuk mendekat, bukan bersembunyi."
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.
"Allah tahu kita manusia lemah. Kita penuh salah. Tapi pintu-Nya tak pernah tertutup. Selama kita masih hidup, kita bisa berbenah."
Aku menunduk. Air mata jatuh. Aku merasa kecil sekali.
Sejak malam itu, aku mulai berjalan perlahan. Shalat lima waktu mulai kulengkapi. Bacaan Qur'an yang dulu terasa berat kini mulai terasa menenangkan. Aku juga mulai memperbanyak membaca buku-buku rohani, mengikuti kajian daring, dan menulis jurnal harian tentang rasa syukur serta dosa-dosaku.