Siapkah Aku Bila DipanggilMu?
Malam itu hujan turun deras. Angin menderu kencang, menggoyang dedaunan dan menggigilkan jendela kaca di kamar kecilku. Di luar, suara adzan Isya menggema lemah dari masjid kecil di ujung gang, namun tak cukup kuat mengusir kegundahan yang sejak sore menguasai dadaku.
Aku duduk terpaku di sudut ranjang, memandangi Al-Qur'an yang tertutup rapi di atas meja. Sudah berapa lama tak kubuka? Sudah berapa kali niatku membaca hanya berujung pada rasa kantuk atau alasan "nanti saja"? Hatiku sesak. Pikiranku kalut. Dan satu pertanyaan bergema berulang-ulang dalam benakku:
"Siapkah aku bila dipanggil oleh-Mu, Tuhan?"
Namaku Ike. Usia empat puluh enam. Seorang guru di taman kanak-kanak swasta di pinggiran kota. Hidupku terlihat biasa saja, mungkin bagi sebagian orang bahkan membosankan. Setiap hari mengajar, pulang, mengurus rumah, lalu tidur. Tapi siapa sangka, dalam keheningan rutinitas itulah kegelisahan rohani perlahan tumbuh, diam-diam merambat, hingga kini menjelma menjadi badai dalam hati.
Segalanya bermula dua minggu lalu, saat saudara ipar perempuanku, Maya, meninggal dunia secara tiba-tiba. Usianya empat puluh sembilan tahun. Kami selalu saling menyemangati untuk tetap kuat meski sering kali merasa "tertinggal" oleh kehidupan.
Hari itu, aku masih bisa mengingat jelas suaranya di telepon, "Ke, rasanya jantungku berdebar aneh ya, aku takut banget. Tapi kamu doain aku ya..."
Kurang dari satu jam setelah telepon itu, aku mendapat kabar: Maya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Serangan jantung.
Shock. Tidak percaya. Marah. Bingung. Semua bercampur menjadi satu.
Hari-hari setelah pemakamannya adalah hari-hari tergelap dalam hidupku. Aku mulai memikirkan ulang segalanya. Hidup. Mati. Waktu. Dan Tuhan.
"Maya, orang baik, rajin shalat, suka sedekah, suka menolong, bahkan dia yang selalu ingetin aku shalat kalau kami sedang bersama. Tapi dia pun tetap 'dipanggil' sedadak itu."