Mohon tunggu...
Sayyidah Syafiqoh
Sayyidah Syafiqoh Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Santri sekaligus mahasiswa. Aktif di PKPT IPPNU STAIM

Bercita-cita menjadi pembicara publik, juga penulis handal. Oleh karenanya berusaha dan berdoa adalah dua hal yang harus di lakukan

Selanjutnya

Tutup

Money

IMF, Kawan atau Lawan?

30 Maret 2020   00:51 Diperbarui: 30 Maret 2020   01:05 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita hidup dengan sejarah, itu benar. Akan tetapi, tidak semua sejarah selalu bisa dijadikan cermin atau panutan. Sebut saja sejarah Indonesia yang pada tahun 1997 menyepakati atau meresmikan diri menjadi anggota IMF dengan menandatangani perjanjian LoI. 

Sebagian dari kita mungkin masih ada yang bertanya-tanya, IMF itu apa sih?. Bagaimana cara kerja LoI? Mengapa beberapa orang ada yang tidak sepakat jika Indonesia merupakan bagian dari IMF? dan sederet pertanyaan lainnya yang mungkin muncul. Oleh karenanya, tulisan singkat dan ringan ini dibuat agar setidaknya beberapa pertanyaan itu sedikit terjawab.

IMF (International Monetary Fund) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah DMI (Dana Moneter Internasional) merupakan sebuah organisasi internasional yang  bergerak di bidang perekonomian yang bertujuan untuk meningkatkan laju ekonomi, mengentaskan kemiskinan, memperkuat kestabilan keuangan, serta segala hal yang mengacu pada kemajuan ekonomi, mulai dalam segi perdagangan hingga politik.

IMF ini bermarkas di Washington, D.C. yang dibentuk pada tahun 1944 dalam Konferensi Bretton Woods, kemudian diresmikan tahun 1945 dengan 29 negara yang menjadi anggota. 

IMF sejak awal bertujuan menata ulang sistem pembayaran internasional. Negara anggota menyumbangkan dana cadangan menggunakan sistem kuota. Dana cadangan tersebut dapat dipinjam oleh negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayarannya.

Ketika kita membaca sekilas apa itu IMF, terbesit bahwa IMF merupakan organisasi yang memang harus ada di tingkat internasional. Mengapa demikian?

Karena bisa saja kurs rupiah akan menurun, inflasi dimana-mana, kebutuhan pasar yang begitu banyak sedangkan hasil produk yang terbatas, sehingga mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi di seluruh dunia hingga akhirnya IMF yang akan menjadi solusi dari semua itu. Akan tetapi, seharusnya kita  tidak mudah terpukau dengan itu semua. Karena dibalik solusi yang IMF tawarkan, kita (Negara) dituntut untuk bertekuk lutut atas segala kebijakan IMF yang sangat mengikat, dan hal itu jelas merugikan kita sendiri.

Indonesia seharusnya tidak menutup sebelah mata hanya karena tidak ingin melihat kembali catatan sejarah sebelum tahun 2000, bahwa pelengseran Soeharto sedikit banyak juga dikarenakan persetujuannya bekerjasama atau menjadi ‘pasien’ bagi IMF. 

Pada tahun 1997, IMF berhasil memaksa Soeharto untuk bekerjasama dengan IMF serta menandatangani surat perjanjian LoI yang didalamnya berisi sekian pasal persyaratan yang menjadi PR bagi Soeharto.

Untuk menyelesaikan PR yang diberikan oleh IMF tersebut (juga untuk melunasi hutang pada IMF), sebagai Presiden bisa dipastikan Soeharto mengambil langkah yang professional. Akan tetapi, jika kita sedikit lebih peka, dengan Soeharto menandatangani LoI saja sebenarnya kita sudah bisa menebak nasib Indonesia beberapa tahun kedepan. 

IMF bagaikan ‘dokter’ sedangkan Indonesia layaknya ‘pasien’ yang dengan serta merta mengikuti saran ‘dokter’. Akibatnya, perekonomian antah-berantah (naiknya suku buka perbankan secara drastis yang menyebabkan perbankan kolaps), membiayai bankir pesakitan yang kaya raya (melalui kebijakan BLBI) dari APBN hingga puluhan tahun pasca reformasi.

Namun, sebagai warga kita tidak bisa sepenuhnya menjustifikasi bahwa tindakan Soeharto dalam meminjam sekian rupiah kepada IMF merupakan hal yang salah, karena  sebelum Soeharto memutuskan menjadi bagian dari IMF, Soeharto sebenarnya telah mengambil beberapa kebijakan ekonomi yang salah satunya adalah kebijakan penghematan devisa, menaikkan suku bunga BI untuk merangsang supaya warga melepas dolar. 

Namun kebijakan-kebijakan ini membuat biaya modal yang semakin mahal.  Sebagaimana diketahui, suku buka SBI yang terlalu tinggi tidak hanya menyebabkan dipikulnya beban bunga obligasi yang sangat berat oleh pemerintah, tetapi juga menyebabkan kelangkaan kredit untuk menggerakkan sektor riil.

Kehadiran IMF di Indonesia sering kali menimbulkan silang pendapat, kecurigaan, atau bahkan ketidakpercayaan, pro-kontrapun terjadi. Masih segar dalam ingatan, ketika IMF tampaknya benar-benar telah menjelma menjadi tuhan dalam pengelolaan perekonomian Indonesia. Sebagaimana Tuhan yang sesungguhnya, kemanapun kita memalingkan mata dalam pengelolaan perekonomian Indonesia, disitu kita akan bertemu wajah ‘cantik’ IMF. Demikian halnya ketika kita duduk, berdiri, bahkan ketika berbaring, kita akan teringat pada IMF.

Banyak orang yang beranggapan bahwa kehadiran IMF justru memperpanjang penderitaan rakyat Indonesia. Karena resep kesehatan ekonomi yang direkomendasikan oleh IMF justru cenderung bersifat kuno dan menimbulkan kontroversi. 

Masyarakat masih belum lupa bahwa kehadiran IMF saat itu disertai dengan rekomendasi penutupan 16 bank dan diiringi pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar. Selain itu, likuiditas diperketat dengan menaikkan suku bunga yang tinggi juga direkomendasikan oleh IMF untuk menarik investor asing dan memperkuat cadangan devisa.

Bila dikaji lebih dalam, memang tidak seharusnya juga kita menyalahkan IMF dalam hal perjanjian dan prasyarat yang diberikannya kepada Soeharto, karena setiap kerjasama pasti dilandasi dengan beberapa kesepakan tertulis sebelumnya. Walaupun demikian, sebagai sebuah lembaga keuangan Internasional yang bertugas memberi pinjaman dan bimbingan untuk menyelamatkan kondisi perekonomian sebuah Negara, kesalahan utama tetap harus ditimpakan kepada IMF. 

Hal ini dikarenakan kegagalan IMF dalam memahami arti penting kredibilitas dan kapabilitas pemerintah dengan siapa ia bekerjasama. Di mata IMF, kredibilitas dan kapabilitas cenderung dipandang sebelah mata. Padahal kerjasama dalam bentuk apapun, lebih-lebih urusan utang-piutang, tidak mungkin dapat dipisahkan dari pertimbangan kredibilitas dan kapabilitas pihak yang hendak bekerjasama.

Kalau boleh dikatakan, keputusan Soeharto ketika menyepakati untuk menerima bantuan dari IMF itu diambil karena terpaksa, terlepas dari beberapa alasan lain yang mungkin belum saya ketahui, mengingat keadaan perekonomian yang saat itu kacau balau. Hutang pada IMF periode tersebut akhirnya terlunasi pada tahun 2006 ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Presiden. 

SBY melunasi hutang tersebut dengan menggunakan cadangan devisa untuk memperkuat  “balance of  payment” atau neraca pembayaran Bank Indonesia. Ketika hutang tersebut lunas, maka bukan berarti Indonesia sudah bukan bagian dari IMF lagi, karena pada saat ini Indonesia masih menjadi anggota resmi IMF.

Jika sebelumnya kita menyimak IMF di masa Soeharto, maka bagaimana dengan IMF hari ini?. karena topik terhangat hari ini tentang Covid-19, maka pembahasan yang paling menarik untuk dikaji tentang IMF adalah tawarannya yang sangat menggiurkan bagi Negara-negara yang menjadi anggotanya. 

Pada awal Maret, IMF mengumumkan telah menyiapkan dana pinjaman senilai 50 miliar dolar AS untuk membantu beberapa Negara dalam menghadapi dan mencegah penyebaran Covid-19, yang kemudian dana bantuan ini disebut ‘Corona Loan’.

Dana yang sebanyak 50 miliar dolar AS tersebut oleh IMF di rinci kembali menjadi dua bagian. Pertama, IMF memberikan istilah Rapid Credit Facility (RFC) untuk Negara berkembang dengan alokasi dana sebanayak 40 miliar dolar AS dengan bunga 1,5% dalam jangka waktu pengembalian 3-5 tahun. Kedua, 10 miliar dolar AS sisanya dialokasikan bagi Negara yang berpendapatan rendah dengan bunga 0% dalam jangka waktu pengembalian 10 tahun, yang kemudian oleh IMF diistilahkan dengan Rapid Financing Instrument (RFI).

Ditengah merebaknya wabah dan kepanikan masyarakat dalam menghadapi Corona, tawaran pinjaman seperti ini pasti diharapkan oleh berbagai pihak dan berbagai Negara. Ketika dikaitkan dengan Negara kita, permasalahnnya terletak pada Indonesia yang saat ini masih menjadi anggota sah IMF, yang kemudian dihadapkan pada tawaran pinjaman menggiurkan sekaligus mengancam dari IMF ini. Jika Indonesia mengulang kembali sejarah periode Soeharto (dengan meminta atau menerima bantuan Corona Loan dari IMF), maka ini akan membahayakan sistem perekonomian bangsa hingga berpuluh tahun setelahnya.

Semoga pemerintah bisa dengan cermat menjadikan sejarah periode Soeharto sebagai pelajaran, bukan sebagai panutan...

Tarate, 22 Maret 2020. 14:11 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun