Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RINDU] Tak Nyaman Namun di Rindukan

7 September 2016   13:52 Diperbarui: 7 September 2016   14:28 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber illustrasi : bismania.com

Gadis merapatkan cardigan hitamnya dengan segera ketika hawa dingin yang menyembur dari alat pendingin kendaraan berbadan besar itu mulai menyelusup menyapa kulit menembus tulang dan menyenggol persendiannya dengan leluasa. Bola matanya mengering diterpa hawa dingin yang mulai menyergap dari segala arah, membuat pandangannya sesaat kemudian memburam. Gadis mengaduk aduk isi tasnya dengan tak sabar. Kini tangannya menggenggam sebuah botol, membuka tutupnya lalu dengan cepat mengarahkan ke matanya.

"Kamu kenapa? Kayak cacing kepanasan gak mau diem." Dara melirik Gadis dari ujung matanya.

"Bukan kepanasan, tapi kedinginan." Gadis sewot.

"Wah, gak jadi dong aku ngajak kamu liburan ke Alaska. Baru di kasih dingin segini aja udah tepar." Dara menyenggol bahu sahabatnya itu.

Gadis mencibir. "Alaska dari Hongkong?."

"Jackie Chan, Andy Lau sama Stephen Chow, itu baru dari Hongkong." Dara mengulurkan tissue kepada Gadis yang mulai sibuk dengan ingusnya.

“Terserah deh.” Gadis beranjak dari duduknya, menghampiri tempat sampah yang berada tak jauh dari tempat ia duduk.

“Keren nih, ada tempat sampahnya.”

“Yaiyalah, gak seperti dulu ya? Buang sampah di kolong,  sisa permen karet di tempel di bawah kursi.” Lagi lagi Dara melirik Gadis dari ujung matanya.

"Berarti bagus Ra, ada kemajuan. Tapi kemajuan yang gak bagus adalah macet yang makin membabi buta. Huh, kapan sampainya nih kalau gini. Mana tangan sudah mulai tremor, kaki sudah mulai kaku." Gadis menyembunyikan kedua belah tangannya di balik lengan cardigannya.

Dara tertawa. "Haduh, protes melulu sih. Coba kita lihat dengan saksama. Armada ini sekarang jauh lebih nyaman dari saat kita kuliah dulu. Adem, sepi, longgar, teratur dan lebih perhatian." Dara menunjuk bangku khusus yang di peruntukan ibu hamil serta sebuah ruang kosong untuk menempatkan kursi roda bagi penyandang disabilitas.

"Dan yang paling penting penumpangnya gak di tumpuk bak pindang lagi kayak dulu karena jumlah armadanya kini telah mencukupi." Lanjut Dara.

Gadis manggut-manggut sambil melayangkan pandangannya ke kursi kursi yang masih kosong.

"Satu lagi, gak ada pedagang asongan, pencopet dan para pengamen yang sering bikin kamu muntab, iya kan?"

Gadis menaikan kedua alisnya. "Ya, armada ini sekarang memang jauh lebih nyaman dari jamannya karir kita naik bis kota masih cemerlang."

"Gak ada atap bocor kalau hujan, jendela yang macet ketika kepanasan, pedagang asongan yang berkeliaran, bangku tambahan di gang, plus pengamen yang bernyanyi dengan nada sumbang."

“Ditambah kita harus jago olah vokal dengan segala improvisasinya yaitu teriak teriak dan mendentingkan uang logam di tiang belakang." Dara menimpali.

"Belum lagi bau tujuh rupa yang menguar dari segala penjuru mata angin, berkolaborasi dengan bau badan kita karena lupa pakai bedak embeka." Gadis terbahak yang membuat semua mata penumpang dalam armada yang di dominasi warna biru itu mengarah kepadanya  dengan segera.

"Dan gak ada yang melototin kamu kayak gini kalau kamu tertawa ngakak sampai guling guling sekalipun." Bisik Dara sambil tersenyum simpul.

Gadis menutup mulutnya sambil mengangguk.

"Satu lagi, yang paling gak asik dari armada ini sekarang adalah kita gak bisa tidur dengan tentram sambil bertopang dahi di besi bangku bagian depan sementara gak ada satu pun mata yang memperhatikan."

Dara mengangguk.

"Sekarang kita juga gak bisa merasakan sensasi hawa panas ketika terpaksa duduk di atas mesin samping pak sopir karena gak kebagian tempat duduk." Mereka terkikik pelan bebarengan.

"Ah, aku rindu suasana seperti itu." Tatapan Gadis menerawang.

"Aku juga Dis. Kita ini aneh ya, suasana gak nyaman kok malah di rindukan." Dara tergelak.

"Ya namanya juga rindu, yang terlibat kan perasaan." Gadis tersenyum.

Dara kembali tertawa, di tangannya ada dua karcis yang baru saja di sobek dari bukunya oleh pak kondektur yang berpakaian rapi. Kertas yang dulu jarang ia terima ketika menaiki bis yang kini telah kadaluarsa dan mungkin masih mangkrak di kandangnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun