Keadaan Indonesia yang bergolak setelah isu Surah Al-Maidah 51 yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tjahaja Purnama-kerap disapa Ahok-membawa efek domino yang bisa dibilang tidak kecil. Isu tersebut seakan-akan mengubah wajah keberagamaan Indonesia seratus delapan puluh derajat. Mungkin setelah kasus tersebut hingga kini banyak yang menyatakan Indonesia semakin intoleran dari hari ke hari sepertinya bukan suatu pernyataan yang berlebihan.
Setelah isu tersebut semakin menguat dan mencapai puncaknya pada aksi 212 hal tersebut semakin menampakkan wajah garang intoleransi yang bisa dirasakan hingga kini keadaannya. Menurut laporan redaksi tirto.id setelah aksi tersebut intoleransi ibadah meningkat hingga 49,2 persen. Sedangkan intoleransi politik naik hinga 59, 3 persen. Kemudian mengutip dari data survei yang dikeluarkan olehÂ
Burhanuddin Muhtadi, peneliti Indikator politik Indonesia dalam tirto.id menyatakan lima bulan sebelum aksi 212 pada tahun 2016 angka intoleransi di Indonesia rata-rata mencapai 13,7 persen. Namun angka tersebut mengalami peningkatan secara signifikan pada tahun 2018 sebesar 31 persen dan bisa dipastikan akan terus naik hingga pemilihan presiden pada Bulan April 2019 mendatang.
Semenjak aksi 212 tersebut serta beberapa aksi sesudahnya memang membawa dampak yang besar bahkan akan terjadi dalam waktu yang panjang. Dampak yang sangat jelas terlihat oleh mata kita yakni yang awalnya beberapa pihak bahkan banyak pihak saat ini terus mengusahakan untuk mensenyawakan antara politik dengan agama.Â
Hal tersebut tidak jadi masalah apabila nilai-nilai universal dari agama itu bisa diterima seluruhnya oleh masyarakat. Yang jadi masalah adalah agama sendiri menurut Budi Hardiman adalah suatu universalisme lunak.
Universalisme lunak yang berisi nilai-nilai religius berdasarkan analisis Budi Hardiman tidak akan bisa berjalan tanpa universalisme keras yang berisi hukum-hukum alam dan kalkulasi rasional-strategis yang memuat semua nilai universal dalam masyarakat.Â
Namun apabila suatu masyarakat memaksakan universalisme lunaknya ke masyarakat tanpa melihat universalisme lunak yang lain dampaknya adalah tidak adanya komunikasi yang baik antar masyarakat dan sulit untuk menemukan titik temu dan titik moral antar agama itu sendiri.
Saya asumsikan bahwa gejala yang terjadi beberapa tahun terakhir ini membawa semangat fundamentalisme agama yang sangat terasa terutama dalam cara beragama masyarakat itu sendiri. Istilah fundamentalis bagi Esposito terasa lebih provokatif dan bahkan pejoratif sebagai gerakan yang pernah dilekatkan pada Kristen sebagai kelompok literlis, statis dan ekstrem.
 Pada gilirannya fundamentalisme sering merujuk kepada kehidupan masa lalu, bahkan lebih jauh lagi fundamentalisme sering disamakan sebagai ekstrimisme, fanatisme politik, aktivisme politik, terorisme dan Anti Amerika. Karena itu, John L. Esposito lebih memilih menggunakan istilah revivalisme (kebangkitan) Islam atau aktivisme Islam yang memiliki akar tradisi Islam (Esposito, 1992: 7-8).
Istilah fundamentalis bukan berasal dari terminologi Islam, tetapi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu fundament. Sebuah terminology yang lahir dalam konteks sejarah keagamaan di dunia kristen Amerika Serikat.Â
Disebutkan bahwa fundamentalisme lahir dalam situasi konflik antar budaya urban dan budaya pedesaan di Amerika pasca PD I, yang muncul bersamaan dengan situasi depresi nilai-nilai agraris dalam proses industrialisasi dan urbanisasi.Â