Mohon tunggu...
Ika Laila
Ika Laila Mohon Tunggu... Administrasi - meramu kisah

Perempuan biasa yang gemar menulis dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Punya Waktu untuk Pergi

27 April 2021   10:20 Diperbarui: 27 April 2021   10:55 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit yang cerah dengan sinar rembulan yang menyengat kulit akan menjadi  gumpalan awan yang menakutkkan pada waktunya. Senja yang melukis langit dengan indahnya akan jadi gulita saat malam tiba. Ribuan bintang yang menghias langit malam dengan kerlipnya akan redup saat mendung menyapa. Tidak ada yang abadi, benar. Kalimat itu yang berulang kali kuucap lirih dengan air mata menggenang.  Hari itu, aku kembali kehilangan. Tepat lima tahun aku memiliki sosok manusia yang bisa kusebut keluarga kedua, emergency number yang bisa kuhubungi kapan saja. Dia yang siap mengantarku bahkan jika kuminta  keliling dunia sekalipun. Dialah adalah awan. Sosok laki-laki bertanggungjawab yang rela kehilangan  apapun demi aku , perempuan yang sejak masih bersekolah menjadi kekasihnya. Hubungan kami dimulai saat kami duduk dikelas 1 SMA, dan sekarang aku sudah duduk di semester 4 untuk mengejar gelar Sarjana Tehnik. Tepat 2 tahun  yang lalu, Awan  pergi dengan tenang dan tanpa berpamitan.

Malam itu, kami sempat pergi makan nasi goreng berdua. Setelah menghabiskan sepiring nasi goreng sambal teri kegemarannya dan segelas es jahe, ia mengajakku pulang. Iya, selera kulinernya memang berbeda dari kebanyakan manusia. Hobi sekali makan nasi goreng sambal teri  dan minumnya es jahe. Aku bahkan tidak tau kenapa dia sangat menyukainya. Padahal kalau dibayangkan rasanya sangat aneh.  Kami pulang menaiki motor vespa berwarna abu. Suaranya nyaring memecah hening malam sebab jalanan terlalu sepi hari itu. Tak ada satupun kendaraan melintas selain container bermuatan besi yang akhirnya menyambar vespa kami dan tidak ada yang kuingat selain sungai merah yang menggenangi tubuh Awan.

Bau obat yang menyengat dan suhu dingin akibat air infus yang dimasukkan kedalam tubuhku melalui selang kecil membuatku terbangun. Dengan perban yang menempel manis di dahiku, aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Namun gagal, lagi-lagi yang nampak hanya tubuh Awan yang berlumuran darah. Dengan nada suara lirih dan hampir tidak di dengar, aku menanyakan keadaan Awan pada ayah dan ibu yang sejak aku membuka mata sudah berada di sebelah ranjangku. Mereka diam, lalu hanya menyuruhku istirahat karena lukaku belum pulih. Keadaanku tidak begitu parah. Hanya saja kepalaku terbentur aspal dan musti diperban.

Sinar mentari menyusup melalui jendela rumah sakit dan mengusik tidurku. Dengan penuh perjuangan, akhirnya aku bisa duduk tegak diatas kasur rawat. Ayah dan ibu tersenyum ketika melihatku sudah sehat. Mereka mendorongku menggunakan kursi roda  menuju ruang bertuliskan ICU yang didalamnya terbaring sosok penuh selang. Aku hampir saja tidak mengenalinya. Dia Awan, kepalanya luka parah sebab besi tajam itu berhasil mengoyak tulang tengkoraknya hingga retak. Kepalanya lebih mirip dengan bola voli berwarna putih. Menyedihkan sekali, aku bahkan sempat menyalahkan keadaan. Andai kami tidak makan nasi goreng, andai kami tidak melaju dengan kencang, andai aku tidak mengajakya ngobrol ketika berkendara,  dan andai-andai yang lain yang hanya bisa ku lukiskan dengan tangis tanpa suara.

Beberapa hari kemudian, aku iizinkan pulang.  Lukaku sudah kering dan aku sudah bisa kembali bersekolah.  Aku yang biasanya dijemput vespa berwarna abu menuju ke sekolah, kini berganti taxi biru yang mengantarku kesana.  Dua minggu setelah kepulanganku, Tante Marisa, ibunya Awan menelfon dan mengabarkan bahwa Awan sudah sadar dan kini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Hari itu, tidak dapat ku lukiskan berapa banyak pelangi memenuhi hatiku. Tanpa pikir panjang, aku memesan taxi lewat apilasi online untuk mengantarku ke rumah sakit. Tentu saja itu ku lakukan setelah jam sekolah selesai. Karena Awan akan sangat marah jika aku bolos sekolah. Sesampainya di bangunan berlorong itu, aku berlari menuju ruangan yang sudah ditunjukkan oleh Tante Marisa. Terlihat Awan sudah duduk dan meyambut kedatanganku. aku menemaninya hingga senja datang, lalu pulang karena masih ada tugas sekolah. Disana sudah ada Ayah dan Ibu Awan yang siap sedia menjaga putra semata wayangnya.

Keesokan harinya, sebelum berangkat sekolah aku mampir ke Rumah Sakit dan membawakan Awan bubur ayam. Aku berniat menyuapinya sampai habis. Tapi baru bebrapa sendok ia sudah mengeluh kekenyangan dan mengantuk. Tak lama kemudian, matanya mengatup, tidurnya nyenyak sekali. Aku yang tidak tega membangunkannya untuk berpamitan, kutinggalkan pesan pada suster yang menjaganya untuk mengatakn kalau nanti dia sudah bangun. Dengan langkah seribu karena takut terlambat, aku berdiri di halte dekat Rumah Sakit untuk menunggu bus. "Lama sekali bus nya, bisa -- bisa aku terlambat" gerutuku. 15 menit kemudia baru ada bus yang siap mengantarku sampai ke sekolah. Padahal perjalanan dari rumah sakit menuju sekolahku 25 menit. Aku sudah siap-siap mendapat hukuman dari guru karena terlambat masuk kelas.  Benar saja, pukul 07.10 aku sampai di sekolah. "Waduh, terlambat 10 menit" ucapku dalam hati. gerbang utama sudah ditutup, tapi anehnya yang berdiri didepan pintu gerbang bukan kepala sekolah atau satpam, melainkan tante Marisa. Ia memelukku dengan sangat erat dan menagis sejadi-jadinya. "Jena, Awan sudah pergi menghadap Ilahi. Tad ipagi setelah kamu meninggalkan kamarnya, 20 menit kemudian Awan kritis dan dokter tidak dapat mencegah  kasih sayang Tuhan untuk mengambil Awan kembali" jelas Tante Marisa sambil terisak. Aku hanya mematung mendengar kalimat demi kalimat yang terucap dari bibir seorang ibu yang sedang kehilangan anaknya. Jantungku rasanya berhenti beroperasi, air mata menetes deras tanpa bisa kuhentikan. Kami berdua akhirnya pergi kerumah duka untuk mengikuti prosesi pemakaman Awan.

Masih tidak menyangka, ia yang mengeuh mengantuk dan tidur untuk selamanya. Menurut kronologi suster penjaga Awan, 20 menit setelah aku keluar ruangan, awan tiba-tiba kejang dan mengekuarkan banyak darah dari telinga dan matanya. Menurut anaisis dokter, jahitan didalam kepalanya lepas dan banyak pembuluh darah yang pecah. Tante Marisa sempat mencariku di halte, tapi karena aku tidak ada beliau encariku ke sekolah.

Sekarang, aku sedang duduk di kamar sambil menangis mengingat kisah 2 tahun lalu itu sambil memeluk album foto berwarna merah muda yang dulu sempat ia belikan untukku saat aku berulang tahun. sudah dua tahun, dua tahun aku tidak bisa melupakannya. Padahal aku tau, setiap manusia punya waktu untuk pergi. Detik yang paling ku sesali adalah ketika ia tidur dan kenapa aku tidak berusaha membangunkannya. Seadainya kala itu aku membangunkannya pasti aku sempat berpamitan pergi. Bukan dia yang berpamitan tidur dan tidak bangun lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun