Setiap kali kita menghadiri seminar kesehatan atau acara-acara yang bertema kesehatan, biasanya ada sesi pembukaan yang menyuarakan tiga mantra sakti: "Ayo makan buah dan sayur, rajin berolahraga, dan periksa kesehatan secara berkala." Ya, itulah Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), inisiatif nasional yang bertujuan mulia: membangun kesadaran dan kebiasaan hidup sehat di masyarakat. Tapi pertanyaannya, sudah seberapa jauh gerakan ini berdampak nyata dalam mengubah perilaku, bukan sekadar menghiasi spanduk dan media sosial?
Di balik jargon dan kampanye yang gencar, strategi komunikasi GERMAS masih kerap diperlakukan seperti pemanis bibir. Ia hadir sebagai dokumen pelengkap---lengkap dengan logo dan bullet points yang rapi---namun belum betul-betul dijadikan acuan strategis dalam pengambilan keputusan publik. Padahal, dalam era banjir informasi dan krisis kepercayaan, kekuatan komunikasi yang berbasis data bisa jadi lebih tajam dari sekadar kebijakan kaku yang sulit dipahami publik.
Komunikasi sebagai Aset Strategis, Bukan Sekadar Penerangan
Telaah terhadap penyusunan strategi komunikasi GERMAS di sejumlah daerah menunjukkan pola yang cukup seragam: strategi disusun mengikuti template nasional, minim riset lokal, dan tidak mengarah pada perubahan perilaku yang terukur. Pesannya cenderung generik, tidak memerhatikan keragaman karakteristik masyarakat, dan lebih fokus pada pelaksanaan kegiatan ketimbang dampak jangka panjang.
Masalah lainnya adalah kurangnya koordinasi antar-organisasi perangkat daerah (OPD). GERMAS sejatinya merupakan agenda lintas sektor---dari kesehatan, pendidikan, hingga pekerjaan umum---namun narasi komunikasi masih terkotak-kotak. Akibatnya, pesan yang disampaikan tidak sinkron dan justru membingungkan publik. Lebih parah lagi, hasil dari strategi komunikasi ini jarang masuk ke ruang-ruang strategis seperti musrenbang atau forum perencanaan pembangunan lainnya.
Inilah ironi besar: kita berbicara soal perubahan perilaku masyarakat, tapi mengabaikan pendekatan yang seharusnya paling berdampak pada perilaku itu sendiri---yakni komunikasi yang tepat sasaran.
Kapan Komunikasi Menjadi Bagian dari Kebijakan?
Agar tidak terus-terusan berada di pinggiran, strategi komunikasi GERMAS perlu dibangun dari pondasi yang kuat. Pertama, ia harus berbasis data lokal. Artinya, sebelum membuat slogan dan desain baliho, perlu ada survei tentang perilaku masyarakat, kanal komunikasi yang digunakan, serta segmentasi audiens yang spesifik. Komunikasi untuk masyarakat pesisir tentu berbeda dengan masyarakat urban, begitu juga antara lansia dan generasi muda.
Kedua, penting untuk menetapkan indikator perubahan perilaku. Jangan lagi mengukur keberhasilan dari jumlah leaflet yang dibagikan atau jumlah audiens yang hadir di seminar. Ukurannya harus lebih tajam: apakah setelah kampanye, masyarakat lebih rutin berolahraga? Apakah angka konsumsi rokok menurun? Di sinilah komunikasi menjadi alat evaluasi, bukan sekadar penebar pesan.
Ketiga, strategi komunikasi harus selaras dengan isu strategis lokal. Misalnya, jika suatu daerah sedang fokus menurunkan angka stunting, maka pesan GERMAS bisa difokuskan pada pola makan ibu hamil dan balita. Narasi lokal yang kuat akan memperkuat legitimasi program dan memperbesar peluang partisipasi warga.
Keempat, jangan lupakan pelibatan masyarakat. Komunikasi yang baik bukan yang banyak bicara, tetapi yang banyak mendengar. Melibatkan tokoh masyarakat, forum warga, hingga komunitas lokal dalam penyusunan pesan bisa membuat strategi lebih membumi dan diterima.