Mohon tunggu...
M Ijlal Rafi
M Ijlal Rafi Mohon Tunggu... Lainnya - Sociological Imagination

Jakarta State Islamic University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

22 April 2019   08:49 Diperbarui: 3 Juni 2022   19:02 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DATA BUKU 
Penulis: Neng Dara Affiah
Judul: ISLAM, KEPEMIMPINAN PEREMPUAN, DAN SEKSUALITAS
Penerbit: Yayan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan: Desember 2017
Tebal: +200 hlm ; 14,5 cm x 21 cm

Buku ini di awali dengan menjelaskan adanya isu-isu krusial yang hangat di perbincangkan mengenai hak-hak perempuan pasca reformasi. Buku ini merupakan respon dari berbagai tulisan, jurnal dan surat kabar yang di tulis antara rentang waktu 1998-2016 yang berkaitan dengan isu-isu sosial, terutama yang terkait dengan hak-hak perempuan. Penulis sangat kritis dalam menjelaskan bagaimana hak-hak perempuan yang terbelenggu oleh ajaran-ajaran Islam yang multi tafsir. Hal itu lah yang membuat buku ini menarik untuk ditelisik lebih dalam. Buku ini terbagi menjadi Tiga Bab yang didalamnya terdapat sub bab untuk menjelaskan lebih lanjut apa konteks permasalahan yang akan di bahas, diantaranya :

BAB I: ISLAM DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN. Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa banyak sekali perdebatan multi tafsir pada ayat-ayat al-quran yang menyatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Pemahaman yang salah kaprah pada ajaran Islam membuat ranah perempuan untuk menjadi seorang pemimpin pun terhambat. Buku ini sangat jelas dalam mengkritisi hal tersebut dan penjelasan yang konkret terhadap adanya kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Penulis juga memberikan contoh tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah Islam yang berhasil menjalani masa kepemimpinannya. Menurut penulis, ada yang jauh lebih penting di perdebatkan sebenarnya. Bukan hanya ayat-ayat nya saja, tetapi alam bawah sadar kolektif masyarakat laki-laki yang agaknya, egonya tabu tunduk di bawah kekuasaan perempuan. Laki-laki sejak kecil telah tersosialisasi untuk menjadi penguasa; paling kecil, berkuasa di tengah-tengah keluarganya. Jadi, ini persoalan ego bukan ayat. Ayat bisa dimanipulasi menjadi tameng kepentingan ego penafsirnya.                                                                                      

Dalam bab ini juga menjelaskan bahwa adanya kendala kepemimpinan perempuan yang di akibatkan oleh hukum /lembaga keislaman yang sudah terinternalisasi oleh nilai-nilai patriarki yang sudah di anut oleh sebagian besar umat muslim. Salah satu tokoh besar yang merasakan kendala tersebut adalah Megawati Soekarno Putri, saat beliau ingin menjabat sebagai calon presiden, banyak sekali pihak yang menolak keras dengan menggunakan ajaran-ajaran islam sebagai senjata yang digunakan dalam menguatkan argumen mereka. Di akhir bab ini penulis menceritakan kisah neneknya yang tidak mengenal kata ‘feminis’ dan tidak pernah mempelajari pengetahuan ini sepanjang hidupnya, tetapi sepak terjangnya mencerminkan nilai-nilai feminis, seperti kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya. Sepertinya ini yang disebut sebagai “ indigenous feminis”, yaitu feminis yang tumbuh dari masyarakat lokal dan berbasis pada interaksi sehari-hari dalam kehidupan nyata seorang perempuan tanpa menyadari, mengenal, dan menyebut dirinya feminis. Hanya saja kontribusi yang ia berikan di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam dunia pendidikan tidak pernah tertulis sebagai bagian dari sejarah hidupnya, sejarah hidup perempuan maupun sejarah pendidikan Islam.

BAB 2: ISLAM DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN. Dalam bab ini penulis menjelaskan bagaimana adanya aturan dan norma yang berbeda dalam melakukan ritual perkawinan di dalam tiga agama (Yahudi, Kristen, dan Islam). Penulis menjelaskan perbedaan tersebut berdasarkan tujuan, fungsi perkawinan, tata aturan dalam perkawinan, pengaturan perkawinan antaragama, dan menafsirkan kembali makna perkawinan yang mempunyai perspektif setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam bab ini juga dijelaskan bahwa hampir semua agama mengecam perbuatan zina dan dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Agama meletakkan “larangan berzina” pada pilar nilai utama yang harus menjadi rujukan umatnya. Perzinahan yang dilakukan juga akan mengakibatkan sanksi sosial bagi yang malakukannya.                                                                                                       

Poligami juga dibahas secara kritis dalam buku ini dan berusaha menelusuri tentang bagaimana islam memandang poligami dengan menelusuri latar sosial tradisi perkawinan Arab pra-Islam yang sedikit banyak berpengaruh pada tradisi perkawinan islam; menyelami latar belakang sosial munculnya tradisi poligami dalam islam yang dimaksudkan untuk memahami teks dengan latar belakang konteks sosial masyarakat Islam awal dan implikasi perkawinan poligami terhadap perempuan. Menurut penulis ajaran Islam mengenai poligami saat ini sudah banyak dicemari oleh para pria pro-poligami mereka sering berdalih bahwa praktik pernikahan lebih dari satu istri merupakan ibadah dan mengikuti jejak Nabi, padahal banyak sekali sikap dan pandangan hidup Nabi yang harus diikuti selain praktik pernikahan poligaminya. Adalah sangat berbahaya menjadikan poligami sebagai alasan mengikuti jejak Nabi Muhammad, padahal yang sesungguhnya adalah melampiaskan hawa nafsu dan hasrat pribadi yang bertentangan dengan ajaran Alquran. Menjadikan dasar Alquran sebagai “kedok” untuk kepentingan hawa nafsu sangat dikecam Alquran itu sendiri.     Yang tidak kalah menarik dari pembahasan buku ini adalah mengenai Jilbab, sejarahnya, politisasi jilbab di era reformasi, dan Seputar Aurat Perempuan

Penulis menjelaskan bagaimana tradisi islam adalah akar dari kesadaran akan penting nya menutup aurat yang dapat dirunut pada lagenda turunnya Adam dan Hawa dari surga ke bumi, yang juga menjadi kepercayaan tiga agama yang berasal dari tradisi ibrahimi : Islam, Nasrani, dan Yahudi. Cerita mengenai Adam dan Hawa terdapat pada kitab-kitab suci tiga agama : Taurat, Injil, dan Al-quran. Cerita itu kemudian diulang-ulang dan diajarkan kepada para pemeluk agama sehingga membentuk suatu kesadaran dalam alam prasadar manusia akan pemaknaan terhadap tubuh perempuan. Dan dari cerita ini pulalah mengapa terdapat pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam masalah penutup tubuh. Selain itu penulis juga memberi kesimpulan dari pemikiran mengenai salah satu tokoh berspektif feminis yaitu Ziba Mir-Hosseini yang tertulis dalam Marriage an Trial: A Study of Islamic Family Law, ia banyak membahas Hukum Islam klasik, khususnya hukum keluarga yang sampai saat ini masih diterapkan di negara-negara berbasis muslim adalah produk hukum yang selama berabad-abad memberi keistimewaan pada laki-laki melalui berbagai pengaturannya, seperti hukum perkawinan, poligami, dan perceraian, tetapi menempatkan perempuan pada posisi inferior. Suara perempuan dalam produk hukum ini secara sistematis ditempatkan pada posisi yang kurang bernilai, dan karena itu reformasi hukum perlu dilakukan atasnya dengan menempatkan perempuan sebagai subyek hukum.

BAB 3: PEREMPUAN, ISLAM, DAN NEGARA. Dalam bab ini penulis akan memusatkan perhatiannya pada pembahasan  feminisme dalam Islam yang di jadikan sebagai paradigma ilmu pengetahuan dan bagaimana pelembagaannya serta isu-isu yang di perdebatkan dalam upaya menegakan kesetaraan dan hak-hak dasar perempuan. Menurut penulis, teori feminisme pada awalnya diarahkan untuk tujuan politis gerakan perempuan, yakni kebutuhan memahami subordinasi perempuan dan pengucilan perempuan dalam berbagai wilayah sosial dan kebudayaan. Feminisme bukanlah aktivitas intelektual abstrak yang terpisah dari kehidupan kaum perempuan, melainkan sebuah teori yang hendak menjelaskan kondisi kehidupan yang di jalani perempuan. Penulis menjelaskan bagaimana korelasi antara feminisme dan Islam yang di kutip dari Ziba Mir-Hosseini yaitu merupakan sebuah teori yang menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang mempengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di satu sisi, dan hukum Hak Asasi Manusia (HAM) di sisi lain. Ia muncul pada dasawarsa 1990-an dengan penekanan bahwa modernitas merupakan suatu yang kompatibel (memiliki kesesuaian) dengan Islam dan bahwa pemahaman manusia terhadap teks-teks suci Islam merupakan sesuatu yang lentur, teks dapat diinterpretasikan untuk mendorong pluralisme, HAM, demokrasi, dan kesetaraan gender. Selain itu dalam bukunya penulis juga menjelaskan bagaimana gerakan perempuan dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia dan adanya gerakan reformasi hukum Islam. 

Menurut penulis sebagai sebuah pemikiran, posisi perempuan dalam peta pembaharuan Islam di Indonesia telah muncul seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional. Pemikiran progresif yang pertama kali muncul dilontarkan oleh sebuah organisasi kecil perempuan yang bernama Natdatoel Fataat, sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri. Menurut penulis gerakan perempuan di Era Reformasi, banyak fakta yang mengatakan bahwa marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan juga masih terjadi pada masa-masa ini. Hal ini tampak pada fakta kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan, terutama perempuan dari kelompok kepercayaan minoritas. Penulis memperhatikan adanya marginalisasi dan kekerasan yang di alami oleh sekelompok Ahmadiyah yang menyebabkan kekerasan seksual, pengucilan dari komunitas, penurunan kesehatan dan gangguan jiwa, kehilangan akses ekonomi, kehilangan hak untuk berkeluarga, kehilangan status kependudukan. Yang tidak kalah menarik di saat penulis menganalisa mengenai  adanya aktivitas dakwah tidak seideal seperti yang dicita-citakan semula. Banyak kegiatan dakwah yang mengalami penurunan makna dari konteks dasarnya. Mulai dari kegiatan dakwah yang menyebarkan agama kepada orang yang telah beragama, komersialisasi dakwah, seperti yang terlihat pada mendia televisi, hingga menjadi ajang mobilisasi untuk kepentingan politik penguasa. Pada sub bab ini penulis menceritakan bagaimana keterlibatannya dengan dakwah dalam komunitas majelis taklim, dimana perempuan Islam, terutama dari kalangan kelas ekonomi yang tidak teruntungkan, menyandarkan pengetahuan agamanya pada kegiatan tersebut. Dan dijadikan sebagai pijakan hidup yang terekspresi dalam tindakan sehari-hari.                                                                                                  

Dalam Bab ini dijelaskan bukan hanya perempuan saja yang berjuang dalam menyerukan ketidakadilan kedudukan perempuan dan pria. Tapi pria juga berperan atas perjuangan tersebut seperti Agus Salim, Mansour Faqih, K.H. Hussein Muhammas, Faqihuddin Abdul Kodir, dan Soekarno. Sokarno menulis dalam surat-surat dari Ende bahwa tabir adalah simbol penindasan bagi perempuan, bukan hanya penindasan oleh laki-laki sebagai kedok untuk mengikuti tradisi, melainkan penindasan terhadap hal yang baru oleh yang lama, terhadap evolusi oleh ortodoksi. Dengan demikian menurut Soekarno salah satu elemen yang harus direformasi dari ajaran Islam adalah kodifikasi hukum Islam tentang perempuan (fikih), karena ajaran ini telah membatasi perempuan pada akses pendidikan, kebebasan bergerak dan berpakaian. Dalam buku ini penulis juga menjelaskan bahwa konsep keperawanan adalah konsep yang dibentuk oleh kontruksi nilai dari masyarakat patriarki yang tujuannya tidak lain dari pengutamaan laki-laki dan pengecilan diri perempuan dengan melihat perempuan dari selapis tipis selaput dara dan bukan hanya kepribadiannya, pemikirannya, keilmuannya, keterampilannya, dan berbagai aktivitasnya yang mencerminkan kemanusiaan perempuan secara total. Yang tidak kalah penting adalah kritik dari penulis terhadap praktik Inses, menurutnya praktik ini harus dimunculkan sebagai persoalan publik dan tidak sebagai semata-mata persoalan individu atau keluarga. Hal yang tampaknya perlu disosialisasikan adalah bahwa melaporkan praktik inses kepada yang berwenang bukanlah perkara aib, melainkan ia perkara kejahatan yang memiliki nilai yang sama dengan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Pelakunya harus memperoleh sanksi berat sebagaimana yang diderita oleh anggota keluarga perempuan yang memiliki akibat buruk dari praktik insen ini.

                               

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun