Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bom Bunuh Diri, Kegilaan Atas Nama Agama

29 Maret 2021   15:52 Diperbarui: 29 Maret 2021   18:02 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terorisme di Indonesia sejauh ini, menurut berbagai riset atau pun tulisan, sering kali dikaitkan dengan jaringan terorisme internasional, seperti ISIS, al-Qaeda, Abu Sayyaf dan Taliba atau pecahan-pecahannya yang lain. Tetapi juga ada jaringan terorisme lokal, yang merupakan warisan dari Negara Islam Indonesia (NII) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Dalam beberapa hal jaringan terorisme internasional maupun lokal ini ketemu, meskipun juga tak jarang bergerak sendiri-sendiri.

Proses globalisasi yang memudahkan pergerakan dan perpindahan (shifting & movement) memudahkan ideologi terorisme global masuk ke Indonesia. Di sisi yang lain, di Indonesia sendiri telah memiliki kelompok-kelompok ekstremis warisan masa lalu. Keduanya ini beririsan, khususnya dalam ideologi membentuk Negara Islam Indonesia dan menentang segala bentuk negara di luar Negara Islam.

Untuk mewujudkan tegaknya ideologi mereka, jalur yang ditempuh  kelompok ini bukan melalui perdebatan di parlemen, tetapi mengambil jalan pintas yang disebutnya dengan jihad. Tentu saja jihad yang dimaksud adalah jihad ala mereka sendiri yang identik dengan kekerasan, bom bunuh diri, dan peperangan. 

Salah satu rujukan jihad kelompok-kelompok teroris tersebut adalah buku kecil Muhammad Abd al-Salam Faraj, komandan Islamis al-Jihad. Buku kecil ini berjudul "al-Faridah al-Ghaibah" (Kewajiban yang Terabaikan). Di Barat buku kecil ini dikenal dengan judul "The Neglected Duty". Faraj dengan tegas menyebutkan: "Abandoning Jihad is the cause of the humiliation and division in which Muslims live today."

Dalam buku ini Faraj menempatkan jihad sebagai kewajiban yang sama posisinya dengan kewajiban puasa dan salat. Faraj juga menolak pandangan ulama yang memaknai jihad sudah terpenuhi jika seseorang melakukan dakwah. Baginya jihad hanya terjadi jika kita memerangi dengan senjata semua kalangan yang dianggap musuh Islam. Karena itu, ayat 5 dari surah al-Taubah, dimaknai Faraj dalam arti tekstualnya: "...bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka..." Demikian pula ia gemar mengutip hadis Nabi, yang disebutnya hadis pedang: "Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang untuk memastikan hanya Allahlah yang disembah dan tidak disekutukan."

Syafii Maarif pernah memberikan istilah bagi para kaum terorisme ini dengan sebutan penganut teologi maut. Saya sendiri cenderung menyebutnya penganut teologi marah. Teologi semacam itu terdapat pada semua agama. Dalam Islam sendiri teologi itu telah ada sejak beberapa abad yang silam. Teologi ini dianut, salah satunya, oleh aliran Khawarij.

Penganut teologi ini, tidak hanya memaknai jihad sebagai jalan perang, tetapi juga melihat di luar kelompok mereka sebagai musuh yang perlu dienyahkan. Istilah kafir, sesat atau musyrik dengan gampang dilekatkan bagi kelompok yang berbeda dengan mereka. Istilah itu sebagai pembeda yang tegas, sekaligus memberi kemungkinan untuk memerangi yang lain. Hingga hari ini, sebagaimana temuan Gambetta & Hertog (2016), karakter in-group dan out-group masih menjadi ciri-ciri kelompok terorisme. Mereka  dengan sangat tegas menajamkan perbedaan antara 'minna' (in-group)  dan 'minkum' (out-group). 

Teologi marah inilah yang menjadi sarana untuk memupuk ideologi mereka. Pembunuhan dan pengeboman dianggap sebagai jalan Tuhan. Kekerasan adalah iman. Kemarahan merupakan jalan menuju surga.  Lengkaplah sudah sebuah kegilaan yang mengatas-namakan agama.

Tidak perlu diperdebatkan lagi, sejatinya teologi semacam ini tidak mencerminkan agama apa pun. Dalam Islam teologi semacam ini tertolak. Perlu digaris bawahi: "tertolak" bukan "ditolak". Artinya Islam dengan sendirinya sebagai agama Rahmatan lil alamin, tidak bisa bersanding dengan teologi semacam itu. Jagankan orang Islam, yang non Islam pun paham akan hal itu. Devin R. Springer (2008) dalam "Islamic Radicalism and Global Jihad", secara tegas menyatakan tidak ada bukti yang kuat, bahwa ajaran Islam bisa membuat umatnya menjadi pemarah apalagi melakukan pembunuhan dan teror atas nama jihad.  

Teologi semacam ini muncul dari pemahaman keagamaanS yang tidak tepat. Syafii Maarif menyebut dengan istilah 'Misguided Arabism' (Pemahaman Arab yang silap). Pemahaman yang tidak tepat, tetapi karena terus menerus ditebarkan baik secara sadar maupun tidak sadar, akhirnya membentuk satu kelompok yang memiliki kecenderungan semacam itu.

Last but not least, seperti kata orang bijak, dari pada  mengutuk kegelapan, lebih baik ambillah pelita, maka saya ingin menawarkan beberapa langkah untuk memutus mata rantai teologi marah ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun