Mohon tunggu...
iis zatnika
iis zatnika Mohon Tunggu... Freelancer - Mari merayakan hari

iis zatnika

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Suara Hati Seorang Investor Receh

30 Juni 2020   22:51 Diperbarui: 30 Juni 2020   23:15 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laporan investasi yang bikin merana tapi dengan berbagai pertimbangan tetap saya pertahankan.

Perjalanan mengeksplorasi aneka produk investasi pernah membuat saya tersenyum tapi juga sempat meringis. Hati riang ketika dapat untung dari reksadana, dan merana ketika berhadapan dengan konsekuensi menjual Surat Utang Negara Syariah alias Sukuk sebelum waktunya, sehingga kena pinalti.

Pernyataan para seleb penasihat keuangan yang wara wiri di timeline media sosial bahwa investasi bisa untung juga rugi, telah saya rasakan. Walau ada momen-momen pahit, saya menganggapnya sebagai proses pembelajaran yang harusnya nggak bikin kapok. 

Walau dana yang saya miliki terbilang mini, tapi proses pembelajaran untuk jadi investor terus berlanjut. Pada akhir 2018 saya berjumpa dengan sebuah produk dari asuransi yang masih satu keluarga dengan bank asal Australia. Produk investasi ini bernama Maxiwealth Link. 

Berdasarkan pertimbangan, dana saat itu sedang ada dan sedang butuh investasi jangka panjang, saya memutuskan membelinya dan efektif Januari 2019. Setorannya Rp25 juta setiap tahunnya, dengan pilihan ditransfer sekaligus atau dicicil setiap bulan. Di tahun kedelapan, dalam ilustrasi diperlihatkan, karena jenisnya yang agresif sehingga dinamakan Agressive Fund, bisa diperoleh return minimal Rp12 jutaan. Pada Januari 2019 memang kondisi sangat kondusif dan optimistis karena situasi Indonesia yang tengah bertumbuh sangat baik. 

Manajer investasi yang menjualnya memang sudah wanti-wanti bahwa produk yang saya pilih berkriteria agresif, return-nya tinggi tapi risikonya juga besar. Ya, perjalanan berkenalan dengan aneka produk investasi sejak lima tahun lalu telah membuat saya merasakan betul prinsip high risk high return terjadi nyata dalam angka-angka rekening. 

Jenis investasi ini bergerak dalam produk saham yang sangat lincah dan memesona saat kinerja ekonomi cerah ceria namun bisa seketika melorot ketika kondisi memburuk. Saya ingat betul, pernyataan Direktur Bursa Efek Indonesia saat mengikuti sekolah saham bersama para blogger bahwa mereka yang berinvestasi di saham adalah mereka yang selalu mendoakan kebaikan buat negerinya, bukan sebaliknya, menangguk untung ketika Indonesia terpuruk. 

Di masa Covid-19 ini, ketika saham mulai rontok di Februari, saya mulai was-was. Waduh, apa kabar dengan investasi ku? Benar saja, rontoknya saham yang terjadi pada pascapengumuman kasus Covid-19 no 1 hingga pasien mencapai ratusan bahkan ribuan secara agresif, akhirnya membuat saya istighfar ketika membuka email laporan dana bulanan yang saya terima pada April 2020. 

Tertulis, dana yang saya setorkan dua kali, masing-masing sebesar Rp25 juta pada November 2018 dan kembali saya transfer ke rekening pada 2019, sehingga total mencapai Rp50 juta, kini hanya tersisa Rp31 juta. Covid-19 telah menggerus dana saya Rp19 juta. 

Sedih? Pastinya iya, uang investasi ini merupakan sisa tabungan setelah sebelumnya saya pakai untuk berbagai keperluan. Karena terbilang uang dingin, artinya belum dibutuhkan untuk keperluan mendesak, maka saya putuskan untuk dialihkan sebagai investasi. 

Lontaran suami, tentang pilihan menarik investasi supaya nggak makin tipis, saya tepis. Alasan pertama, terus terang saja, ketentuan pinalti yang akan saya terima juga terbilang tinggi. Jadi, selain dana saya tergerus korona, akan terpotong juga oleh pinalti sebanyak sehingga jika langkah ini saya ambil, hanya akan tersisa uang yang sangat minim. 

Kedua, ini terkait dengan projek yang saya tangani, beberapa kali saya mengedit tulisan yang memuat pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yang menyatakan setelah korona teratasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan bertumbuh melesat hingga membentuk huruf v. Jadi penurunan memang akan terjadi, tapi akan diikuti pertumbuhan yang dipicu oleh pertumbuhan industri yang semula tertahan gara-gara korona, belanja pemerintah di berbagai bidang untuk menjadi stimulus serta konsumsi masyarakat yang segera pulih bahkan meningkat setelah mereka harus mengerem laju konsumsi pada era Covid-19. Saya mempercayai pernyataan itu, pun jika bukan BI yang kita percaya, lembaga dengan kewenangan mengawal ekonomi Indonesia, maka pada pihak mana lagi kita bisa pertaruhkan kepercayaan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun