Mohon tunggu...
Iis Ratna Komala
Iis Ratna Komala Mohon Tunggu... ASN Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung

Interested in transportastion, urban planning issues, penyelenggaraan urusna pemerintahan, hubungan sosial (antara anggota keluarga, suami istri orang tua anak kakak beradik, pertemanan, coworkers, colleagues, sesama manusia). Gila saat bekerja, serius saat bercanda, sungguh-sungguh saat bahagia. Kejujuran, kesungguhan, empati, kebermanfaatan adalah prinsip yang diwarisi dari orang tua. Semua kebaikan yang terlahir diniatkan sebagai jariyah bagi orang tua dan para mentor, yang telah membentuk diri saat ini melalui didikan mereka terdahulu.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kutitip Jodohmu di Mutiara Selatan

9 September 2025   11:23 Diperbarui: 9 September 2025   11:23 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ku selalu takjub akan kisahku ini, tentang perpisahan terakhir bersama mantanku dan pertemuan awal dengan suamiku.

Bulan itu, di akhir tahun 2002, aku kembali gundah memikirkan Sang Kekasih, yang memang sebelumnya pernah membuatku sangat bahagia, yang selalu membuatku merasa menjadi wanita 'ter' saat bersama, tercantik, tersempurna, paling beruntung. Tapi kala itu sepertinya ada satu hal dalam kehidupan kami yang semakin bertolak belakang, namun mendasar, satu saja. Kami pun tidak berusaha untuk menyamakan persepsi, karena kami merasa bahwa satu hal itu bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan. Bulan itu, aku beranjak dari Bandung, datang mengunjungi Sang Kekasih, untuk memantapkan hati, jalan mana yang harus kami tempuh. Kemudian aku pulang, dengan kemantapan tanpa pengutaraan.

Di malam kepulanganku, rangkaian kendaraan yang membawaku ke Bandung adalah Kereta Api Mutiara Selatan. Stasiun Kertosono menjadi simpul pilihan untuk kembali ke Kota Kembang. Sang Kekasih mengantarku berjalan hingga ke dalam gerbong, menyimpan tas ransel biru muda kesukaanku, dan menitipkannya pada seorang lelaki yang tak sempat dia sunting wajahnya, yang tak sempat dia nilai usianya, yang menduduki kursi di sebelah kursiku. Kutatap wajah Sang Kekasih dengan firasat bahwa itu akan menjadi pertemuan kami yang terakhir, dalam kisah yang sama. Kemudian aku berjalan menuju kursiku, duduk. Rangkaian Mutiara Selatan pun melaju, kududuk dalam sendu, tanpa dugaan bahwa titipan Sang Kekasih atas diriku dan tasku kepada lelaki yang duduk di sebelahku akan menjadi titipan jangka panjang, dan perjalanan Kertosono-Bandung itu akan berlanjut menjadi perjalanan hidup bersama hingga akhir hayat, insyaallah. Ku tak menduga, bahwa kejadian itu bermakna seakan Sang Kekasih berucap pada Si Lelaki, "Kutitip jodohmu di Mutiara Selatan".

Kisah kutitip jodohmu di Mutiara Selatan, dilanjut dengan adegan sholat berjamaah dan makan martabak manis plus minum susu. Di tengah kehausan hati yang sedang ingin disemangati untuk terus memperbaiki diri, hati yang sedang ingin didorong untuk memperkayakannya, lelaki di sebelahku memulai percakapan dengan pertanyaan datar, diikuti dengan pertanyaan datar lainnya. Namun entah mengapa aku merespon semua nada datar tanpa keseruan itu, suatu hal yang belum biasa kulakukan dengan orang yang baru saja kukenal. "Sudah sholat? Saya mau sholat, barangkali mau berjamaah?", kemudian aku berjamaah dengannya. "Aku ada martabak dan susu, mau?", walau malas melihat martabak kampung yang tampak kurang mantap rasanya itu, kutetap menerima tawarannya berbagi susu cair yang tak dingin itu, kuminum. Sepanjang perjalanan kami pun membicarakan soal kampus dan pekerjaan. Benakku tak menangkap ketertarikan lebih pada Si Lelaki yang tengah melakukan perjalanan dari rumahnya di Kertosono ke Bandung. Namun akhirnya Si Lelaki itu pun mendapatkan nomor teleponku, padahal aku paling tidak suka memberikan nomor kontak pribadi pada orang yang belum lama dan belum banyak kukenal. Saat kami akan turun dari Mutiara Selatan, dengan gaya yang sangat menarik, Si Lelaki itu berkata dengan gestur genit jari tangan sebagai telepon genggam, "Call me". Setelah selama 10 jam kami duduk berdampingan, baru saat call-me-moment lah kusunting wajahnya, matanya, dan kesantunannya. "Hmmm, he is sweet and cute... not bad", sekelebat otakku tersenyum simpul.

Dalam jangka waktu 2 bulan, kami hanya sesekali ber-SMS, dan aku tidak terlalu meresponnya. Hingga akhirnya suatu hari, aku dan Sang Kekasih resmi berpisah. Dan hari-hari berikutnya pun berubah drastis menjadi hari persiapan pernikahan. Si Lelaki, menjelma menjadi sang kekasih pilihan. Tahun 2003 s.d. 2005 menjadi tahun-tahun pendekatan Si Lelaki kepada kedua orang tuaku, agar diperkenankan untuk menikahi anaknya. Kami pun menjadi sepasang suami istri di Tahun 2006. Pernikahan kami pun kemudian terasa seperti petualangan seru. Dari Mutiara Selatan, berlanjut ke Qantas Airlines karena Si Lelaki mendampingi tugas belajarku ke Australia, hingga kemarin merayakan hari jadi pernikahan kami naik Kereta Cepat Whoosh bersama anak-anak. "Terima kasih Kekasih, karena telah menitipkanku kepada lelaki baik, hingga aku dijadikan jodohnya", what a travel we had.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun