Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Antara Duka dan Cinta Akan Kearifan Tradisi

7 Desember 2019   10:08 Diperbarui: 7 Desember 2019   10:20 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kulihat wajah Bapak berseri-seri. Entah apa yang membuat beliau sebahagia itu. Tak lama kemudian beliau meletakkan dua bungkus nasi rendang ke hadapanku. Aku bingung dari mana beliau mendapatkan makanan itu malam-malam begini?

"Pak....?"

"Sudah, jangan bertanya. Makanlah, bapak juga sangat lapar. napak belum makan sejak tadi sore."

"Loh kok kening Bapak memar begitup. Kenapa, Pak?" tanyaku khawatir, namun Bapak tak merespon pertanyaanku.

Beliau begitu menikmati sajian yang ada di depannya. Kelezatan nasi rendang malam itu seakan mengalahkan kelezatan makanan di restoran termahal sekali pun.

Aku sendiri masih bingung, bukan hanya memikirkan tentang asal muasal nasi tersebut namun juga memikirkan tentang keadaan tubuh bapak yang  memar di kening serta kedua lengannya. Pakaian beliau pun sedikit robek di bagian dada, dan rambut Bapak terlihat acak-acakan. hanya senyuman yang membuat wajah beliau terlihat tenang.

"Kau tidak makan, Sul? Makanlah lalu tidur. Nanti bapak mau pergi lagi setelah ini."

"Pergi kemana lagi, Pak? Di luar masih hujan. Jangan membuat Samsul khawatir. Samsul sudah lega melihat Bapak pulang. Lagipula ini sudah hampir pagi." 

Bapak malah tersenyum, menepuk pundakku dengan bangga. "Kau akan menjadi orang sukses, Sul, semuanya hanya menunggu waktu. Pesan bapak padamu tetaplah rendah hati jika kau menjadi orang berada suatu saat nanti. Dan wakafkanlah gubug kita ini menjadi surga untuk para anak-anak dan kucing-kucing yang terlantar di luar sana. Jangan sungkan untuk melakukan kebaikan sekecil apa pun ya, Sul. Karena kita tidak pernah tahu hal apa yang bisa membawa kita ke surga-Nya kelak. Bapak sudah lelah, Sul, bapak sudah tua. Bapak rindu dengan Ibumu. Bapak ingin bertemu dengannya."

Aku tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Bapak. Mulutku menganga. Lidahku susah untuk digerakkan. Kulihat Bapak meninggalkanku dan keluar menerobos pintu.

"Astaghfirullaahal'adziim... Bapaaak???!!" Aku langsung terbangun dan ternyata itu mimpi. Namun tak sekedar mimpi. Aku benar-benar merasakan semua itu seperti hal yang nyata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun