Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Antara Duka dan Cinta Akan Kearifan Tradisi

7 Desember 2019   10:08 Diperbarui: 7 Desember 2019   10:20 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Airmataku kembali menetes. Tak dapat kubayangkan betapa susahnya beliau bertahan seorang diri di tengah luasnya samudera. Menjadi nahkoda dari sebuah perahu yang cat-catnya telah luntur serta kayu yang keropos termakan waktu. 

Aku masih ingat kapan terakhir kali bapak mengecat perahu itu. Enam tahun yang lalu, saat ibu masih ada. Enam tahun, seharusnya kami mampu untuk merombak perahu itu menjadi lebih layak untuk dipakai.

Namun kenyataannya kami tidak sanggup. Semenjak Ibu tiada, keuangan kami begitu merosot. Aku masih ingat ucapan seorang guru yang berkata bahwa tangan laki laki tidak akan mampu menyimpan banyaknya uang seperti tangan seorang perempuan. Oh Ibu, wanita yang dulu menjadi lentera hati kami kini hanya tinggal nama dan kenangan. 

Waktu menunjukkan pukul 22.00, aku sama sekali tak sadar bahwa lantunan zikirku sudah masuk jam kedua. Keadaan hatiku yang sangat mengkhawatirkan bapak membuatku nyaman untuk menetap lebih lama di mushola. 

"Tak pulang kamu, Sul? kok tumben masih di sini. Ada masalah?" sapa Ustadz Djamal padaku.

Aku langsung berdiri dan mencium tangan beliau. "Maaf Pak Ustadz, apa pintu mushola mau di kunci? Jika iya saya pamit pulang sekarang."

"Bukan begitu, Sul. Tapi saya melihat kegundahan di wajahmu. Ceritalah, mungkin saya bisa membantu."

"Saya memikirkan keadaan bapak saya yang sedang mengais rezeki di luar sana. Apalagi cuaca seperti ini. Anginnya kencang sekali, saya sangat khawatir Pak Ustadz. Dan entah mengapa saya gelisah sekali malam ini. Padahal setiap malam pun beliau pergi melaut sendirian."

Kulihat beliau merasakan kekhawatiran yang menguasai diriku. "Pulanglah Sul. Dan sholat hajat di rumahmu. Rumahmu adalah amanah dari orangtuamu yang wajib kau jaga.

Memohonlah kepada Gusti Allah Swt, agar Bapakmu baik-baik saja.  Satu hal yang dapat menangkis bala  yang hendak menembus atmosfir bumi hanyalah Do'a. Kau anak yang berbakti, Gusti Allah pasti sangat menyayangimu Sul."

Aku menatap wajah Ustadz Djamal dengan lekat. Ada secercah embun yang menetes di hatiku. "Baik Pak Ustadz, wassalamu'alaikum warahmatullaah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun