Mohon tunggu...
Iik Nurulpaik
Iik Nurulpaik Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Akademisi, Pemerhati Pembangunan Bangsa

Edukasi jalan literasi peradaban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dilema Pungutan Biaya Sekolah

6 Desember 2022   21:45 Diperbarui: 6 Desember 2022   22:24 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Soal pungutan biaya pendidikan (baca: sekolah) selalu menjadi polemik publik, apakah sekolah boleh memungut biaya?. Di daerah selalu menghadapi persoalan yang cukup membingungkan berbagai kalangan yakni berkenaan dengan adanya larangan bagi sekolah-sekolah untuk melakukan pungutan tambahan biaya penyelenggaraan pendidikan.

Dasar yang dijadikan sikap kebijakan pemerintah adalah PP Nomor 47/2008 tentang wajib belajar dan PP Nomor 48/2008 tentang pendanaan pendidikan. Dalam PP 47/2008 pasal 9 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Biaya apa, apakah biaya kegiatan akademik, bagaimana dengan biaya nonakademik. Melihat latarbelakang dan semangat PP 47 tersebut yakni sebagai langkah pemerintah untuk menjamin penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun yang menjadi visi kebijakan nasional dalam pemenuhan kewajiban negara menyediakan layanan pendidkan yang di wajibkan kepada warganya.

Dengan kata lain sebenarnya jika kita mencoba menginterpretasikan jaminan terselenggaranya program wajib belajar maka ruang lingkup PP 47 tersebut fokusnya kepada jenjang SD/MI dan SLTP. Pada sisi lain jaminan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah untuk program wajib belajar melalui dana BOS dihadapkan pada kondisi faktual dimana tidak sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan riil penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

Bahkan bagi satuan pendidikan yang selama ini memperoleh tambahan dana cukup besar dari partisipasi orang tua siswa dana tersebut tidak dapat memenuhi sepenuhnya kebutuhan ideal yang selama ini dialokasikan. Inilah yang kemudian mengundang kontroversi antara masyarakat yang menginginkan biaya penyelenggaraan pendidikan digeratiskan, di satu sisi pihak sekolah dihadapkan pada kenyataan kurang pendanaan jika hanya mengandalkan alokasi yang bersumber dari pemerintah untuk pengembangan program-program pendidikannya, sementara di sisi lain pemerintah berupaya untuk memberikan pembuktian secara politik bahwa janji pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar dijamin secara geratis.

Hemat penulis pemerintah kebablasan mengeluarkan sikap melarang satuan pendidikan untuk memungut tambahan pembiayaan dari orang tua, sebab secara legal dalam PP 48/2008 pendanaan pendidikan tetap menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 2). Memang terkesan dalam PP 48/2008 tampak sekali kesan ambisi pemerintah untuk memberikan pembuktian politik bahwa wajib belajar secara politis harus sukses dan semua warga usia wajib belajar dapat bersekolah tanpa hambatan pembiayaan.

Semestinya semangat PP 47 dan 48/2008 tersebut tidak diartikan dan diimplementasikan secara kaku. Yang diperlukan lebih lanjut sebetulnya bukan pelarangan memungut biaya oleh pihak sekolah kepada orang tua melainkan pengaturan bagaimana mekanisme penarikan dana dari orang tua (khususnya) secara legal dan tersistemkan dalan kerangka manajemen sekolah. Dalam konteks ini peranan komite sekolah menjadi strategis dalam memfasilitasi mekanisme partisipasi dari orang tua.

Dalam hal jaminan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar ini harus ada proteksi yang adil dan proporsional bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu bukan pelarangan pemungutan dana dari orang tua secara pukul rata. Kalau pemungutan itu dilakukan kepada mereka yang berkemampuan dan disepakati secara kelembagaan hemat penulis tidaklah bertentangan dengan hukum. Langkah ini relefan dengan PP 48/2008, pasal 49 yang menegaskan bahwa orang tua dapat memberikan sumbangan pendidikan secara sukarela dan sama sekali tidak mengikat.

Tetapi bukan diartikan sumbangan tersebut tanpa tersistemkan. Jangan diartikan sumbangan sukarela dan tidak mengikat ini seperti sumbangan santri kepada pesantrennya, melainkan harus dalam bingkai legal aspek dan tersistemkan. Jadi aturan yang melarang pungutan kepada orang tua harus dikaji lebih seksama agar dapat memberikan kepastian hukum baik bagi para penyelenggara satuan pendidikan maupun orang tua.

Pendapat penulis, salah satu pola pemberian kontribusi dari orang tua kepada pihak sekolah yang dapat diterapkan adalah bentuk kontribusi sukarela terlembagakan yang besarannya pariatif sesuai dengan kesepakatan dan kesanggupan orang tua dan bagi mereka yang tidak memiliki kesanggupan sama sekali tidak diharuskan dan kelompok inilah yang harus mendapatkan jaminan pihak sekolah bersama pemerintah sebagai penyelenggara satuan pendidikan.

Jangan sampai kebijakan pelarangan ini justru bersifat kontraproduktif bagi penyelenggaraan pendidikan disekolah secara wajar dan bermutu. Yang perlu diwaspadai dan diantisipasi jangan sampai kekeliruan dalam penapsiran dan implementasi kebijakan ini berimplikasi pada penurunan kinerja pelayanan pendidikan di sekolah yang akhirnya merugikan siswa, orang tua/masyarakat dan bangsa ini.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun