Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

R80, sebuah catatan kecil

30 September 2017   20:43 Diperbarui: 1 Oktober 2017   00:21 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Kitabisa.com/Regio Aviasi Industri

Setelah bulan lalu PT DI menyuguhkan penerbangan perdana N219. sekarang giliran R80 menarik perhatian masyarakat. Meskipun di awal Agustus PT Regio Aviasi Indonesia (RAI) memamerkan R80, gaungnya tidaklah terlalu kuat. Keputusan untuk melakukan crowd funding minggu ini jelas dimotivasi untuk menarik perhatian masyarakat. Saya harap RAI memang benar-benar tidak bermaksud mengandalkan crowd funding untuk mengembangkan R80.

Terus terang sebagai jelmaan N250 yang memelopori kebangkitan teknologi nasional di tahun 1990-an, memang saya tidak bisa menafikan R80. Saya juga tidak bermaksud mengulas kembali teknologi N250 yang sudah dibahas dalam tulisan terdahulu. Hubungan antara kedua pesawat ini pun sudah banyak diberitakan. Mereka yang gemar mengamati peswat terbang akan dengan mudah mengenali bahwa R80 tidak lebih dari N250 yang diperpanjang untuk membawa penumpang yang lebih banyak. Sebenarnya saya heran bagaimana hak cipta milik perusahaan negara yang waktu itu bernama IPTN tidak lagi dimiliki oleh PT DI yang notabene adalah nama baru IPTN melainkan menjadi milik perusahaan swasta yang bernma RAI ? Mungkin saja RAI mendapatkan hak cipta tersebut secara wajar namun tanpa banyak diekspos oleh para pewarta. Atau RAI menyewa hak cipta N250, apabila demikian halnya, siapakah pemiliki R80 nantinya ?

Terlepas dari permasalahan kepemilikan,R80 adalah peswat yang menarik untuk dibahas. Mulai dari sisi segmen pasar yang lebih premium jika dibandingkan dengan N219, maupun teknologi yang rencananya akan dipakai untuk pesawat terbang tersebut.

Ada banyak pemberitaan seputar R80 yang sangat rancu, terutama kaliam di beberapa situs berita yang menglakim kalau R80 jauh lebih effisien daripada peswat terbang buatan Boeing dan Airbus. Untuk ini, slide yang dikeluarkan oleh NASA Glenn Reserach Centre akan sangat berguna. Saat ini nyaris semua pesawat terbang komersial menggunakan mesin Gas Turbine. Dalam bentuk yang paling dasar mesin ini hanya terdiri dari kompresor (warna Cyan), ruang bakar (merah) dan turbin (ungu). Mesin dengan konfigurasi ini disebut turbojet karena daya dorong pesawat sepenuhnya dihasilkan oleh jet yang keluar di belakang turbin. Apabila kita memasang fan (hijau) yang didepan kompresor yang digerakan oleh turbin tambahan (hijau) yang diletakan dibelakang turbin asli, maka kita akan memperoleh mesin turbofan. Gaya dorong mesin dihasilkan oleh momentum aliran udara -- di fisika SMA tentang hukum Newton : massa udara dikali kecepatan aliran -- melalui mesin yang kemudian dibuang kebelakang sebagai jet. Dengan memasang fan yang besar, maka kita dapat meningkatkan massa aliran udara dan memperkecil kecepatannya untuk menghasilkan momentum yang sama dengan turbojet. Jumlah bahan bakar yang dikonsumsi sebanding dengan daya mesin dan daya mesin sebanding dengan kuadrat kecepatan. Jadi apabila dengan turbofan kita dapat mengingkatkan aliran udara sebanyak dua kali lipat sehingga kecepatan aliran bisa dikurangi menjadi setengahnya, maka daya mesin turbofan dan dengan demikian pemakaian bahan bakar akan menjadi 1/4 turbojet. Karena inilah mesin turbojet sudah tidak diproduksi sejak akhir tahun 1970-an. Bagaimana dengan mesin gas turbin yang digandengkan ke baling-baling (properller) alias turboprop ? Karena propeller jauh lebih besar daripada fan, maka kita bisa menambah massa udara sehingga memperkecil kecepatan menjadi lebih jauh. Misalnya dengan propeller kita bisa meningkatan massa udara menjadi dua kali turbofan, maka dengan hitungan yang sama seperti sebelumnya, maka pemakaian bahan bakar turboprop hanyalah 1/4 pemakaian bahan bakar turbofan, alias 1/16 pemakaian bahan bakar turbo jet.

sumber NASA Glenn Research Centre
sumber NASA Glenn Research Centre
Kalau turboprop memang hemat bahan bakar kenapa Airbus dan Boeing hanya membuat pesawat terbang turbofan ? Karena kecepatan baling-baling membatasi kecepatan maksimum pesawat terbang. Artinya pesawat turboprop seperti R80 memiliki kecepatan jelajah yang relatif rendah sehingga biasanya hanya dipakai untuk penerbangan jarak pendek. R80 dikelaskan sebagai pesawat komuter regional untuk penerbangan sekitar 800 Nm dengan jumlah penumpang 70 orang atau kurang) sementara produk Boeing dan Airbus yang terkecil bukanlah pesawat komuter regional. Oleh karena itu membandingkan R80 dengan A320 ataupun 737 tidak ubahnya seperti membandingkan mobil Ayla dan Fortuner. Dua hal yang berbeda. Yang menarik sumber perbandingan konyol ini bukanlah kreatifitas jurnalis yang salah kaprah melainkan dari pakar dirgantara RAI langsung.

Di sini menarik untuk disimak kalau pasar pesawat terbang komuter kelas 80penumpang ke atas sudah lama didominasi oleh pesawat dengan mesin turbofan. Terakhir kali kelas ini didominasi oleh pesawat ber propeller adalah tahun 1950-1960-an ketika Douglas DC-7, Bristol Britania, Lockheed Electra dan teman-temannya masih berjaya. ATR-72 yang sangat populer sekalipun hanya mampu membawa tidak lebih dari 75 penumpang. Mengapa sektor regional ini didominasi oleh pesawat turbofan ? Karena sektor yang merupakan high end pasar regional ini biasanya memiliki jarak tempuh yang cukup jauh seperti Singapura-Denpasar yang lebih dari 1000 Nm.  Penerbangan ini membutuhkan waktu tempuh yang lama sementara itu aliran udara disekita ujung propeller menimbulkan suara yang sangat bising. Mereka yang pernah naik Hecules dan pesawat berproller lainnya tentu pernah merasakan bagaimana tak nyamannya penerbangan yng disertai kebisingan. Sementara itu turbo-fan yang dibungkus oleh nacelle tidak menghasilkan pola aliran yang menimbulkan kebisingan. Oleh karena itu R80 dan peswat sejenisnya jelas membutuhkan teknologi active noise cancelling dimana sebuah sistem vibrator dipasang dibadan peswat untuk menhasilkan getaran yang sama besarnya namun memiliki fase yang berlawanan dengan getaran yang ditimbulkan oleh propeller.

Disini menarik untuk dicatat kalau proyek R80 ini tidaklah sepragmatik N219. Tulisan N219 ini juga membahas parameter yang saya pakai dalam tabel berikut.

Saat ini Bombardier Q-400 adalah satu-satunya pesawat propeller di kelas regional dengan kapasitas 80+ penumpang yang ada didunia. Oleh karena itu cukup menarik untuk melihat  bagaimana R80, yang saat ini hanyalah pesawat kertas, akan bersaing  dengan Q-400.

dokumen pribadi berdasarkan data publikasi RAI dan Bombardier
dokumen pribadi berdasarkan data publikasi RAI dan Bombardier
Perlu diingat tabel yang ada di sini adalah perbandingan antara pesawat kertas R80 (saat ini tidak lebih dari impian para perancangnya) dan Q-400 yang sudah beroperasi selama 10 tahunan. 

Dari tabel tampaklah kalau R80 ditujukan untuk bersaing dengan Q-400 base. Dari segi kinerja aerodinamika, keduanya tidaklah jauh berbeda dengan aspek rasio sayap yang menentukan besaran gaya hambat yang paling utama memiliki nilai yang hampir sama.  Konfirgurasi roda pendarat yang disimpan dalam kotak yang menonjol dibagian bawah mungkin membuat R80 memiliki gaya hambat yang lebih besar.

Daya mesin R80 bukanlah besaran final ya g dinyatakan dalam shaft horse power (SHP) -- daya kuda yang dihasilkan oleh torsi mesin. Namun daya mesin yang lebih kecil tidak berarti R80 lebih inferior karena daya maksimum mesin makimall lebih ditentukan pada kinerja ketika lepas landas, bukan ketika menjelajah. Dengan kata lain daya mesin R80 yang lebih kecil daripad Q-400 tidak menunjukan inferioritas R-80

Tampaknya para perancang R80 mengharapkan pemakaian sistem kendali Fly By wire akan membuat kerangka R80 relati ringan, hal ini terlihat di besarnag Operating Empty Weight (OEW) yang sekitar 7% lebih ringan daripada Q-400 base. Hali ini berarti R80 berpotensi untuk membawa muatan lebih banyak. (Harus dicatat kalau lalkulasi maksimum muatan mencakup bahan bakar. Besaran yang lebih tepat adalah maksimum payload yang tidak disediakan oleh RAI. Ada kemungkinan R80 dirancang untuk memiliki berat total yang relatif ringan sehingga memubuthakna gaya angkat yang lebih sedikit (konsekuensinya gaya hambat yang lebih sedikit pula) sehingga bersamam dengan kecepatan jelajah yang 3% lebih rendah akan memberikan daya jelajah yang 12.5% lebih tinggi daripada Q-400 base. Namun sekali lagi harus dicatat bahwa R80 adalah pesawat kertas dan di kasus N250 dulu, target beratnya tidak terpenuhi. 

Q-400 max adalah kasus menarik karena menujukan kepercayan diri Bombardier akan kebutuhan turboprop untuk penerbangan mendekati 3 jam. Memang pasar ini dapat terbentuk sendirinya apabila daerah seperti Indonesia timur mulai menunjukan pertumbahan ekonomi sehingga kebututahn tarsporatsi udara meningkat namaun tidak cukup besar untuk menggunakan peswat bermesin turbofan. Apakah RAI bermaksud untuk membuat versi max R80 dihari depan?

CRJ-900 yang merupakan pesawat regional dengan kapasitas 90 oenumpang namun bermesin turbofan saya gunakan sebagai pembanding disni. Sekedar memberitahu, msin turbofan diukur dengan gaya dorong bukan daya mesin SHP. Dengan melihat data CRJ-900, menarik untuk dilihat adalah pesawat turboprop jelas memiliki kecepatan dan daya jelajah yang lebih rendah. Kecepatan jelajah CRJ-900 adalah 42 persen lebih tinggi daripada R80, maka keungulan darim segi efisiensi bahan bakar akan dengan mudah dikalahkan oleh frekuensi penerbangan apabila jarak antara bandara keberangkatan dan tujuan lebih dari 600Nm. Untuk kasus penerbangan Singapura-Denpasar, CRJ-900 hanya membutuhkan 2jam 15 menit sementara R80 akan membutuhkan 3 jam. Disinilah kelemahan utama turbopop. Namun untuk jarak pendek seperti Suarbaya-Semarang, Surabaya-Denpasar, maka peswat sekelas R-80 kan jauh lebih efisien daripada yang dipakai oleh banyak maskapai Indonesia saat ini yang mengandalkn Boeing 737 seri tua (seri 100/200 yang masih menggunakan mesin turbijet ataupun 300/400/500 yang lebih cocok untuk penerbangan jarak jauh. Tahukan anda kalau penerbangan Suarabaya-Jakarta yang menggunakan Boeing 737 dan A320 saat ini hanya sekedar menanjak, menjelajah selama 15 menit untum kemudian turun lagi ? Surabaya-Jakarta adalah contoh dimana keungulan turbofan terhadap turboprop atau sebaliknya memang tidak terlalu jelas.

Rekan kompasioner pernah menulis persoalan prasarana airport di Indonesia yang menarik. Di situ ditunjukan kalau R80 hanya dapat beroperasi di bandara 3C (perintis namun sudah memiliki fasilitas cukup bagus) yang hanya berjumlah 16% dan kelas 4 (bandara non perintis). Artinya R80 tidak akan dapat mencakup banyak wilayah di Indonesia. CN235 dan calon turunannya, N245, dapat dioerasikan di bandara kela 2B ditambah dengan lapngan rumput sehingga dapat beroperasi lebih luas di Indonesia. Hal ini mungkin bukan permasalahan besar karena R80 memang diperntukan bagi high end pasar regional yang bisa disevis oleh turboprop.

Sebenarnya, untuk saat ini, pertanyaannya adalah akankah R80 menjadi kenyataan ?

Apabila kita melihat data aktifitas ekonomi seperti tercantum di survey GDP 2016 yang diterbitakan oleh BPS, maka sektor dirgantara Indonesia sebenarnya masih mati suri. Walaupun R80 dicantumkan sebagai proyek nasional, data di situs RAI dengan jelas mencantumkan bahwa R80 tidak akan mendapat bantuan dana langsung dari pemerintah. Hal ini sudah tepat karena Pemerintah melalui PT DI sudah punya fokus tersendiri, ayitu N219. (Saya harap N245 tidak dimulai sampai dengan N219 benar-benar memuki proses produksi untuk mencegah kehilangan fokus). Namun bagi PT RAI, ini bukanlah pekerjaan mudah, apalagi kalau RAI memang jujur dalam memasang label pesawat Indonesia. Yang tidak boleh dilupakan tentu saja program purwarupa N250 yang secara langsung atau tidak adalah penyebab bunyinya lonceng kematian bagi program tersebut. Kenyataanya Embraer dari Brazil membutuhkan bantuan dari modal dan tenaga ahli AS untuk dapat bersaing dengan Bombardier. Bombardier sendiri saat ini mecoba mencari dukungan dari Korea dan Cina untuk meluncurkan program pesawat terbang baru mereka.

Secara pribadi, saya sangsi kalau R80 memang sudah mendapatkan komitemen untuk menjual 150 pesawat terbang dari maskapai Indonesia. Angka ini lebih mungkin sebagai ukuran minat untuk membeli sebagaimana halnya Sukhoi Superjet 100 dahulu memiliki minat pembeli namun hingga saat ini tidak ada satu pun yang benar-benar dibeli oleh maskapai penerbangan Indonesia. Apabila konatrak pembelian memang ada, maka RAI wajib membuat peswat tersebut sesuai kontrak, namun pemberitaan yang ada dalam minggu ini lebih mengacu ke proses penggalangan dana bagi detail design. masih jauh dari komitmen untuk menyuplai pesawat tersebut ke maskapai satupun.

Apakah saya akan bergabung ke program crowd funding ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun