Kebijakan fenomenal dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang akrab disapa Kang Dedi, tengah menjadi sorotan publik. Gagasan berani mengirim anak-anak "nakal" ke barak militer menuai beragam reaksi. Ada yang memberikan dukungan penuh, menganggapnya sebagai terobosan tegas di tengah krisis moral remaja. Namun, tak sedikit pula yang menilai kebijakan ini terlalu ekstrem dan perlu dievaluasi kembali.
Langkah ini tergolong belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Sebuah gebrakan yang kontroversial namun inovatif. Menariknya, banyak orang tua justru menyambut program ini dengan tangan terbuka. Bagi sebagian dari mereka, mengurus anak yang sudah terlanjur sulit diatur menjadi beban yang berat. Maka, barak militer bukan hanya jadi tempat pembinaan, tapi juga secercah harapan... apalagi jika biayanya gratis.
Istilah "anak nakal" berasal dari bahasa asing juvenile delinquency. Namun, ini tidaklah sama dengan kenakalan yang dimaksud kitab undang-undang dalam Pasal 489 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kata juvenile berarti anak-anak atau remaja, yaitu masa perkembangan dengan ciri-ciri khas tertentu. Sementara itu, delinquency berarti melakukan kesalahan atau tindakan yang menyimpang, dan kemudian berkembang maknanya menjadi perilaku jahat, asosial, kriminal, pelanggaran terhadap aturan, pembuat keributan, pengacau, atau pelaku teror.
Badan Peradilan di Amerika Serikat pertama kali menggunakan istilah anak nakal dalam upaya merumuskan undang-undang sistem peradilan khusus untuk anak-anak di negara tersebut. Dalam perkembangannya, terdapat dua pandangan: satu pihak menyoroti aspek pelanggaran hukumnya, sedangkan pihak lain lebih menekankan apakah tindakan anak tersebut sudah menyimpang dari norma yang berlaku, meskipun belum melanggar hukum secara langsung. Walau demikian, kedua pandangan tersebut sepakat bahwa inti dari pengertian "anak nakal" adalah perilaku atau tindakan yang bersifat antisosial.
Sebagai seorang guru SD yang bergelut di dunia pendidikan dan terbiasa berinteraksi langsung dengan berbagai karakter anak dari latar belakang ekonomi hingga pola asuh keluarga yang beragam, saya memahami, perilaku menyimpang pada anak kerap kali berakar dari pola asuh yang kurang tepat di rumah atau pengaruh lingkungan sosial yang negatif. Memang, kasus kenakalan berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak usia sekolah dasar. Namun, bukan berarti hal semacam itu tidak pernah terjadi. Untuk menyelesaikan persoalan ini  di butuhkan pendekatan yang lebih humanis, tidak memerlukan sentuhan militeristik. Justru, pendekatan berbasis kasih sayang, perhatian, dan pemahaman menjadi kunci utama dalam membina dan mengarahkan anak-anak di usia ini..
Setiap penanganan anak tentu tidak selalu sama tergantung tingkat kenakalan yang dilakukan.Tentu berbeda dengan penanganan anak yang masih duduk di bangku SD dengan siswa yang duduk di bangku SMP dan SMA. Di butuhkan analisis yang tepat untuk membuat satu keputusan yang menyatakan anak tersebut termasuk kategori anak nakal analisis ini bisa dibantu oleh tenaga ahli seperti Psikiater.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Kesehatan (kemkes.go.id), terdapat sekitar 2,2 juta remaja di Indonesia yang telah terpapar narkoba, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan. Ironisnya, dalam situasi seperti ini, dunia Pendidikan terutama para guru kerap menjadi pihak yang disalahkan. Padahal, guru memiliki keterbatasan dalam menerapkan pengajaran maupun menegakkan kedisiplinan. Tidak sedikit kasus yang muncul, ketika upaya pemberian disiplin justru menjadi bumerang bagi guru, bahkan hingga berujung pada jeruji besi.
Dalam konteks ini, kebijakan mengirim siswa yang berperilaku menyimpang ke barak militer saya nilai sebagai sebuah inovasi yang patut dipertimbangkan, tentu dengan catatan: Jenis Pembinaanya berbeda dengan prajurit yang disiapkan untuk bertempur dimedan perang, melainkan sebagai tempat pembinaan yang menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dan kepatuhan terhadap aturan. Perlu dipahami bahwa guru tidak mungkin bekerja sendirian dalam membentuk karakter peserta didik. Sebelum mengenyam pendidikan formal di sekolah, anak-anak telah lebih dulu dibentuk oleh pola asuh keluarga dan lingkungan sekitar. Merombak kebiasaan buruk yang sudah mengakar tentu bukanlah hal yang mudah. Seperti pepatah lama mengatakan, "dari kecil teranja-anja, sudah besar terbawa-bawa" yang artinya, kebiasaan yang dibentuk sejak usia dini cenderung terbawa hingga dewasa. Oleh karena itu, pola asuh yang keliru dan lingkungan yang negatif dapat meninggalkan jejak karakter yang sulit diubah di masa depan.
Guru akan berhadapan dengan macam ragam anak dikelasnya. Tidak semua anak yang diajak bicara lemah lembut akan segera menurut. Ada anak yang tidak mengindahkan perkataan guru walaupun sudah berkali-kali disampaikan. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu anak tersebut kurang menyukai pendekatan yang dilakukan oleh guru, atau anak tersebut merupakan anak yang kurang mendapat kasih sayang dirumah sehingga selalu ingin diperhatikan disekolah dengan cara membuat onar hanya demi kepuasan diri. Jangankan nasehat dari guru hukuman saja mungkin sudah tidak lagi berefek karena sudah terbiasa dengan suara bentakan dan hukuman fisik dirumah sehingga nasehat guru hanya dianggap angin lalu.
"Kalau sudah begini mau diapakan?
Menurut saya, kebijakan mengirim anak yang berperilaku menyimpang ke barak militer merupakan langkah solutif yang patut diapresiasi, tentu dengan pelaksanaan yang penuh kehati-hatian dan pertimbangan matang. Kebijakan ini tidak ditujukan untuk semua anak, melainkan untuk mereka yang telah melakukan tindakan yang tergolong di luar batas kewajaran, seperti terlibat dalam penyalahgunaan narkoba atau tawuran yang mengarah kepada kebrutalan dan menggunakan sajam.
Bagi sebagian orang, pengiriman anak ke barak militer mungkin dianggap berisiko terhadap kondisi psikologis mereka. Namun, pertanyaannya: apakah keterlibatan anak dalam narkoba dan tawuran tidak lebih dahulu merusak kondisi psikologis mereka? Ketika anak telah terpapar lingkungan yang destruktif, pendekatan pencegahan sudah terlambat. Mereka perlu segera mendapatkan rehabilitasi dan pembinaan agar tidak semakin larut dalam lingkaran yang sama dan menularkan pengaruh negatif kepada anak-anak lain di sekitarnya.
Fenomena meningkatnya jumlah anak jalanan, termasuk anak-anak dari komunitas Funk yang hidup tanpa pendidikan, tanpa perlindungan, dan tanpa kasih sayang, menjadi cerminan kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar anak. Namun, saya tetap optimis dan menyambut baik program Sekolah Rakyat yang digagas oleh Presiden Prabowo. Saya berharap inisiatif ini dapat menjadi solusi nyata dalam menampung dan membina anak-anak jalanan yang belum mendapatkan Pendidikan yang layak, terlebih lagi bagi anak-anak yang selama ini menjadi korban eksploitasi orang tua maupun pihak-pihak tak bertanggung jawab lainnya yang memanfaatkan mereka demi keuntungan pribadi.
Mengentaskan kenakalan remaja melalui peran guru saja itu mustahil. Lantas apa solusi untuk semua ini? Solusi untuk mengatasi kenakalan remaja, termasuk kebijakan kontroversial seperti pengiriman anak-anak bermasalah ke barak militer, perlu dilihat dari berbagai sudut pandang: pendidikan, psikologi perkembangan anak, pendekatan hukum, serta peran keluarga dan masyarakat.
Berikut adalah beberapa solusi komprehensif yang bisa ditawarkan:
1. Kolaborasi Multisektor: Pendidikan, Keluarga, dan Pemerintah
- Sinergi antara sekolah, keluarga, dan pemerintah daerah sangat penting. Sekolah tidak bisa bekerja sendirian. Pemerintah harus memberikan pendampingan yang bersifat preventif dan rehabilitatif melalui lembaga layanan psikologi, konselor, atau pusat pembinaan remaja.
- Pemberdayaan peran orang tua melalui program parenting yang wajib diikuti bagi orang tua dengan anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda perilaku menyimpang.
2. Pusat Rehabilitasi Khusus Anak (Bukan Barak Militer Biasa)
- Jika anak sudah terlibat narkoba, tawuran, atau perilaku antisosial ekstrem, solusi alternatif seperti pusat rehabilitasi anak dengan pendekatan militer ringan namun edukatif dan humanis bisa dikembangkan.
- Tempat ini bisa menggabungkan kedisiplinan ala militer, pendekatan psikologi perkembangan anak, pendidikan karakter, keterampilan hidup, dan terapi perilaku.
- Tenaga pendamping di dalamnya harus terdiri dari psikolog anak, konselor, tokoh agama, pelatih, dan guru pembina karakter.
3. Sekolah dengan Layanan Khusus dan Sistem Restoratif
- Setiap sekolah idealnya memiliki layanan bimbingan konseling efektif, berorientasi pemulihan (restoratif), bukan hukuman.
- Penguatan model "Sekolah Ramah Anak dan Disiplin Positif" yang fokus pada hubungan, dialog, dan perubahan perilaku secara berkelanjutan perlu diterapkan.
- Sekolah juga bisa menyediakan kelas transisi atau ruang pembinaan khusus dengan guru yang dilatih secara profesional menghadapi anak-anak dengan latar belakang sosial dan emosional yang rumit.
4. Pendidikan Karakter yang Terintegrasi
- Implementasi pendidikan karakter harus lebih konkret, bukan hanya menjadi wacana atau tempelan dalam kurikulum.
- Pembelajaran harus menyisipkan nilai empati, tanggung jawab, kemandirian, dan regulasi emosi dalam praktik sehari-hari, seperti dalam kegiatan proyek, diskusi kelompok, atau kegiatan sosial.
5. Intervensi Dini & Sistem Deteksi Dini
- Sekolah dan pemerintah daerah harus memiliki sistem yang mampu mendeteksi gejala kenakalan sejak awal (misalnya bolos, perilaku agresif, malas belajar, tidak disiplin).
- Dengan adanya pengawasan dan intervensi dini, anak-anak tidak akan sampai pada level ekstrem.
6. Kampanye Kesadaran dan Ruang Ekspresi Anak
- Buat ruang aman dan menyenangkan bagi remaja untuk menyalurkan energi mereka: klub minat, ruang kreatif, festival seni, pelatihan vokasional.
- Anak-anak yang memiliki ruang aktualisasi dan merasa dihargai akan lebih sedikit yang merasa perlu melawan aturan atau mencari perhatian dengan cara yang merusak.
7. Evaluasi dan Pendampingan Kebijakan Secara Berkala
- Kebijakan semacam pengiriman ke barak militer perlu diuji dampaknya secara ilmiah, harus memiliki perubahan perilaku yang lebih baik jika tidak tentu program ini perlu evaluasi.
- Harus ada mekanisme pengawasan, evaluasi, dan revisi yang dilakukan oleh tim ahli independen, termasuk akademisi, psikolog anak, dan pemerhati hak anak.
Kebijakan inovatif patut diapresiasi, apalagi jika berangkat dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi remaja masa kini. Namun, kebijakan untuk anak harus berpijak pada perlindungan hak anak, pendekatan empatik, serta prinsip tumbuh kembang yang sehat. Militerisasi bisa jadi salah satu opsi, tapi pendekatan holistik dan humanis tetaplah jalan tengah yang paling bijak. Yang terpenting, setiap program harus punya arah yang jelas, dijalankan dengan konsisten dan sepenuh hati, serta diawasi secara ketat. Karena tanpa pengawasan, bahkan program paling hebat pun hanya akan jadi wacana tanpa makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI