Analisis penulis dalam bab ini memperlihatkan bahwa peradilan agama di Indonesia memiliki dasar historis, sosiologis, dan normatif yang kuat. Kelebihan bab ini terletak pada kemampuan penulis menyajikan kronologi sejarah dengan runtut dan mudah dipahami. Namun, analisisnya masih bisa diperdalam dengan menyoroti dampak sosial dari pembatasan dan pengakuan hukum Islam terhadap masyarakat muslim di berbagai daerah.
Bab II : Kewenangan Pengadilan Agama dan Hukum Perdata Islam
Bab ini menjelaskan tentang ruang lingkup kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki Pengadilan Agama, serta hubungannya dengan hukum perdata Islam di Indonesia. Setelah melalui proses panjang sejak masa awal Islam hingga masa modern, pengadilan agama kini menjadi lembaga hukum resmi negara yang memiliki peran penting dalam menyelesaikan persoalan hukum bagi umat Islam. Lembaga ini menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, hingga ekonomi syariah.
A. Pengertian Kompetensi Pengadilan Agama
Istilah kompetensi berarti kewenangan atau batas kekuasaan yang diberikan kepada suatu lembaga hukum untuk memeriksa dan memutus perkara. Dalam konteks pengadilan agama, kompetensi menjelaskan jenis perkara apa saja yang boleh dan tidak boleh diadili oleh lembaga ini. Jadi, pengadilan agama hanya berwenang menangani perkara yang menyangkut hukum Islam dan pihak-pihak yang beragama Islam. Dasar hukum kewenangan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Melalui undang-undang tersebut, kedudukan pengadilan agama diakui sejajar dengan lembaga peradilan lain seperti peradilan umum, militer, dan tata usaha negara. Pengadilan agama diberi kekuasaan untuk menyelesaikan perkara yang bersumber dari ajaran Islam, seperti masalah perkawinan, waris, wakaf, zakat, dan berbagai transaksi ekonomi berbasis syariah. Namun, syaratnya, para pihak yang berperkara harus sama-sama beragama Islam.
B. Kompetensi Absolut dan Relatif Pengadilan Agama
Dalam dunia peradilan, ada dua jenis kewenangan yang dikenal, yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum atau daerah tempat pengadilan agama tersebut berwenang. Artinya, setiap pengadilan agama hanya boleh menangani perkara yang terjadi dalam wilayah hukumnya sendiri. Misalnya, bila pihak tergugat tinggal di Surabaya, maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Agama Surabaya. Pembagian wilayah hukum ini bertujuan agar proses sidang berjalan lebih efisien, mudah diakses oleh para pihak, dan menghindari tumpang tindih antar pengadilan. Sementara itu, kompetensi absolut berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi tanggung jawab pengadilan agama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, pengadilan agama memiliki kewenangan untuk menangani berbagai perkara di bidang hukum Islam, di antaranya:
1. Perkawinan, seperti nikah, talak, cerai, rujuk, izin poligami, dan pembagian harta bersama.
2. Kewarisan, yang mencakup penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan menurut hukum Islam.
3. Wasiat dan hibah, selama dilakukan berdasarkan ajaran Islam.
4. Wakaf, zakat, infak, dan sedekah, termasuk jika muncul sengketa dalam pengelolaannya.