Mohon tunggu...
Ifadatus tsaniyah
Ifadatus tsaniyah Mohon Tunggu... Mahasiswi

Mahasiswi Hukum Keluarga Islam Universitas Negri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Peradilan Agama dan Aktualisasi Hukum Islam di Indonesia" karya Dr. Sri Lumatus Sa'adah, M.H.I.,

7 Oktober 2025   19:02 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:02 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lebih jauh, penulis juga menyinggung bahwa di masyarakat Indonesia, perjanjian pra nikah masih sering dipandang negatif karena dianggap sebagai tanda ketidakpercayaan antara calon suami dan istri. Padahal, jika dipahami dengan benar, perjanjian ini justru merupakan bentuk antisipasi yang rasional dan bertanggung jawab. Dengan adanya perjanjian pra nikah, pasangan tidak hanya melindungi harta masing-masing, tetapi juga menjaga hubungan mereka dari potensi kesalahpahaman dan perselisihan di kemudian hari. Penulis menekankan bahwa perjanjian semacam ini harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu sebagai sarana untuk menciptakan hubungan yang sehat, jujur, dan saling menghargai antara suami dan istri.

Pada bagian penutup, penulis menyimpulkan bahwa perjanjian dalam perkawinan merupakan bagian penting dari sistem hukum perkawinan di Indonesia. Keberadaannya memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak, mencegah terjadinya konflik, dan memperkuat rasa tanggung jawab dalam hubungan rumah tangga. Dalam pandangan Islam, perjanjian pra nikah tidak mengurangi kesucian akad nikah, justru memperkuat prinsip keadilan dan keterbukaan yang diajarkan dalam syariat. Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang perjanjian perkawinan perlu disosialisasikan agar masyarakat tidak lagi memandangnya negatif, tetapi sebagai bentuk kesiapan dan kedewasaan dalam membangun rumah tangga yang harmonis, tertib, dan berkeadilan. Dengan demikian, perjanjian pra nikah bukan hanya sebuah dokumen hukum, melainkan juga wujud komitmen moral untuk menciptakan kehidupan pernikahan yang penuh tanggung jawab dan saling menghormati.

F. Perkawinan beda agama

Dalam subbab ini, penulis membahas mengenai pernikahan beda agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang memiliki keyakinan agama berbeda. Topik ini menjadi salah satu isu yang sering menimbulkan perdebatan di masyarakat Indonesia karena menyangkut persoalan hukum, agama, dan nilai-nilai sosial. Penulis menjelaskan bahwa pernikahan bukan hanya ikatan antara dua orang secara lahiriah, tetapi juga hubungan batin dan spiritual yang melibatkan keyakinan serta tanggung jawab moral terhadap Tuhan. Karena itu, perbedaan agama dalam perkawinan dapat memunculkan banyak persoalan, baik dari segi hukum agama, hukum negara, maupun dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari.

Menurut pandangan hukum Islam, pernikahan beda agama pada dasarnya tidak diperbolehkan, terutama bagi perempuan Muslim. Larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 221, yang melarang umat Islam menikah dengan orang musyrik sebelum mereka beriman. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesamaan iman menjadi syarat penting untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan berlandaskan nilai keislaman. Memang, dalam sebagian pandangan ulama klasik disebutkan bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani). Namun, penulis menegaskan bahwa dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan memiliki sistem hukum tersendiri, praktik seperti itu tidak disarankan karena dapat menimbulkan banyak permasalahan, seperti perbedaan cara beribadah, pendidikan anak, dan aturan hidup sehari-hari dalam rumah tangga.

Dari sisi hukum nasional, penulis menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Hal ini berarti, jika dalam agama Islam pernikahan beda agama tidak diizinkan, maka secara hukum negara, perkawinan tersebut juga tidak sah. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjadi dasar utama dalam menentukan keabsahan suatu perkawinan. Karena hukum Islam tidak membenarkan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, maka lembaga resmi seperti Kantor Urusan Agama (KUA) tidak berwenang mencatatkan pernikahan beda agama. Dengan demikian, negara secara otomatis tidak mengakui pernikahan tersebut secara administratif maupun hukum.

Penulis juga menguraikan bahwa sebagian pasangan yang tetap ingin menikah meskipun berbeda agama sering kali mencari cara lain untuk melangsungkan pernikahan. Misalnya, mereka menikah di Kantor Catatan Sipil atau melaksanakan dua kali prosesi pernikahan berdasarkan agama masing-masing. Akan tetapi, cara seperti ini sering menimbulkan kebingungan hukum karena bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan prinsip keagamaan. Dalam banyak kasus, pernikahan semacam ini juga tidak mendapatkan pengakuan dari pengadilan, sehingga status hukum pasangan dan anak-anak mereka menjadi tidak jelas. Selain itu, hal ini dapat menimbulkan persoalan administratif, seperti kesulitan dalam mengurus akta nikah, akta kelahiran anak, maupun hak-hak hukum lainnya.

Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa dari segi sosial dan moral, pernikahan beda agama kerap menimbulkan ketegangan dalam kehidupan rumah tangga. Perbedaan keyakinan bisa memicu pertentangan dalam menjalankan ibadah, mengatur pola pendidikan anak, serta dalam menentukan arah kehidupan keluarga. Dalam ajaran Islam, pernikahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis atau sosial, tetapi juga sebagai bentuk ibadah dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, kesamaan iman sangat penting agar pasangan dapat saling mendukung dalam beribadah dan menjaga keutuhan rumah tangga. Bila terdapat perbedaan keyakinan, maka dikhawatirkan akan sulit bagi pasangan tersebut untuk hidup selaras dalam urusan spiritual dan moral.

Penulis juga menyoroti peran Pengadilan Agama, yang memiliki kewenangan dalam menangani perkara perkawinan bagi umat Islam. Karena hukum Islam melarang pernikahan beda agama, maka pengadilan agama tidak dapat memberikan izin maupun pengesahan terhadap pernikahan tersebut. Dengan kata lain, jika pasangan tetap memaksakan untuk menikah secara Islam meskipun berbeda agama, pernikahan itu tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dicatatkan di lembaga resmi negara. Akibatnya, pernikahan semacam itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga dapat menimbulkan masalah dalam hal status suami istri, hak waris, maupun perlindungan hukum bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Penulis menegaskan bahwa larangan pernikahan beda agama dalam Islam bukan dimaksudkan untuk membatasi kebebasan seseorang dalam memilih pasangan, melainkan untuk menjaga kemurnian akidah dan keharmonisan dalam rumah tangga. Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang harus dijaga kesatuannya, baik secara moral maupun spiritual. Jika perbedaan agama terjadi di dalam rumah tangga, dikhawatirkan akan timbul konflik batin dan kesulitan dalam menjalankan ibadah bersama. Karena itu, Islam menekankan pentingnya memilih pasangan yang seiman agar kehidupan rumah tangga dapat berjalan dengan damai, saling menghormati, dan penuh kasih sayang.

Pada bagian akhir, penulis menyimpulkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia tidak diakui baik secara hukum agama maupun hukum negara. Dalam pandangan Islam, pernikahan semacam itu jelas dilarang, sementara menurut hukum nasional, pernikahan hanya sah jika dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Artinya, pernikahan beda agama tidak hanya bertentangan dengan syariat, tetapi juga tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara. Penulis menekankan bahwa tujuan pernikahan bukan sekadar penyatuan dua individu, melainkan juga penyatuan nilai, keyakinan, dan visi hidup. Oleh karena itu, menikah dengan pasangan yang seiman menjadi hal yang penting agar keluarga yang dibentuk dapat hidup dalam keharmonisan, ketenteraman, serta senantiasa berada dalam lindungan dan ridha Allah SWT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun