Mohon tunggu...
Ifadatus tsaniyah
Ifadatus tsaniyah Mohon Tunggu... Mahasiswi

Mahasiswi Hukum Keluarga Islam Universitas Negri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Peradilan Agama dan Aktualisasi Hukum Islam di Indonesia" karya Dr. Sri Lumatus Sa'adah, M.H.I.,

7 Oktober 2025   19:02 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:02 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut hukum Islam, perkawinan (nikah) adalah akad yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan rumah tangga yang tenteram dan diridai oleh Allah SWT. Tujuan utamanya bukan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan juga sebagai sarana menjaga kehormatan diri, memperkuat hubungan sosial, dan melahirkan keturunan yang saleh. Melalui perkawinan, seseorang belajar arti tanggung jawab, kesetiaan, dan kerja sama dalam kehidupan. Islam memandang pernikahan sebagai sunnah Rasulullah SAW yang sangat dianjurkan karena membawa kemaslahatan bagi individu maupun masyarakat. Suatu perkawinan dianggap sah menurut Islam apabila memenuhi rukun dan syaratnya, yaitu adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul yang jelas. Namun, dalam konteks negara, pernikahan juga harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) agar memiliki kekuatan hukum dan diakui secara administratif. Pencatatan ini penting untuk memberikan perlindungan hukum kepada suami, istri, maupun anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

B. Prinsip pernikahan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974

Undang-undang ini menjadi landasan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Namun bagi umat Islam, pelaksanaan pernikahan diatur lebih rinci dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan dicatatkan sesuai peraturan yang berlaku. Artinya, bagi umat Islam, pernikahan baru diakui sah oleh negara apabila telah dilaksanakan sesuai syariat Islam dan didaftarkan di KUA. Undang-undang ini juga menetapkan sejumlah asas penting dalam hukum perkawinan, antara lain asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh memiliki satu istri. Namun, undang-undang tetap membuka peluang bagi poligami dengan syarat tertentu, seperti adanya izin dari pengadilan agama dan persetujuan dari istri. Selain itu, undang-undang menegaskan pentingnya asas persetujuan kedua calon mempelai, asas kedewasaan (usia minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan), serta asas pencatatan perkawinan untuk menjamin kepastian hukum. Dalam hal hak dan kewajiban, suami memiliki tanggung jawab memberikan nafkah, melindungi, dan membimbing istrinya, sedangkan istri berkewajiban mengurus rumah tangga dan menjaga kehormatan keluarga. Keduanya harus saling menghormati dan bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga.

C. Rukun dan Syarat Pernikahan

penulis menjelaskan bahwa suatu pernikahan baru dianggap sah jika telah memenuhi unsur-unsur pokok dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak hanya dipahami sebagai ikatan sosial antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ibadah yang bernilai tinggi serta perjanjian suci yang disebut mitsaqan ghalizha. Oleh karena itu, pelaksanaan pernikahan harus mengikuti aturan yang telah digariskan syariat Islam agar pernikahan tersebut benar-benar sah dan membawa keberkahan. Penulis membedakan antara rukun nikah dan syarat nikah, di mana rukun merupakan hal-hal pokok yang wajib ada dalam pelaksanaan akad nikah, sementara syarat adalah ketentuan yang harus dipenuhi agar rukun tersebut sah dan pelaksanaannya tidak cacat hukum.

Menurut penjelasan penulis, rukun nikah dalam Islam terdiri atas lima unsur utama, yaitu calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul. Setiap unsur memiliki kedudukan yang penting dan tidak dapat diabaikan. Pertama, calon suami dan calon istri haruslah orang yang beragama Islam, berakal sehat, tidak dalam tekanan atau paksaan, dan tidak memiliki halangan untuk menikah, misalnya tidak memiliki hubungan darah (mahram) atau tidak sedang terikat perkawinan lain. Kedua, adanya wali nikah merupakan syarat mutlak bagi calon pengantin perempuan, sebab wali berfungsi untuk mewakili perempuan dalam akad dan memastikan pernikahan dilakukan dengan benar serta bertujuan baik. Wali yang sah menurut urutan nasab adalah ayah kandung, kemudian kakek, saudara laki-laki, dan seterusnya.

Ketiga, harus ada dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat, yakni beragama Islam, telah dewasa (baligh), berakal sehat, serta dikenal sebagai orang yang adil. Kehadiran saksi ini menjadi bukti bahwa pernikahan dilakukan secara terbuka dan tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Keempat, unsur yang paling penting dalam akad nikah adalah ijab dan qabul, yaitu pernyataan serah terima antara wali dan calon suami. Ijab biasanya diucapkan oleh wali atau wakilnya, sedangkan qabul diucapkan oleh calon suami sebagai bentuk penerimaan atas akad tersebut. Lafaz ijab dan qabul harus diucapkan dengan jelas, berada dalam satu majelis, dan tidak diselingi oleh hal lain agar akad dianggap sah. Ketika kelima unsur ini terpenuhi, maka pernikahan tersebut sah menurut agama Islam.

Selain rukun, penulis juga menjelaskan tentang syarat-syarat pernikahan, baik syarat bagi calon mempelai maupun syarat pelaksanaan akad. Syarat bagi calon suami dan istri di antaranya adalah sudah cukup umur, berakal sehat, dan mampu bertanggung jawab dalam rumah tangga. Dalam konteks hukum di Indonesia, syarat usia minimal menikah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia menikah bagi laki-laki dan perempuan sama, yaitu minimal 19 tahun. Ketentuan ini dibuat agar pernikahan dilakukan oleh pasangan yang sudah matang secara fisik dan mental, sehingga mampu mewujudkan tujuan pernikahan secara baik. Selain itu, pernikahan tidak boleh dilakukan dalam keadaan ihram (bagi yang sedang menunaikan ibadah haji atau umrah), tidak boleh dengan orang yang masih menjadi istri orang lain, dan tidak boleh dengan orang yang sedang dalam masa iddah.

Adapun syarat pelaksanaan akad nikah mencakup beberapa hal penting, seperti dilaksanakannya akad di hadapan wali dan dua orang saksi, adanya kesepakatan antara kedua calon mempelai tanpa paksaan, serta pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hukum agama maupun hukum negara. Dalam konteks Indonesia, penulis juga menekankan pentingnya pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). Walaupun pencatatan ini bukan bagian dari syarat sahnya pernikahan menurut agama, namun pencatatan menjadi sangat penting agar pernikahan tersebut diakui oleh negara. Dengan adanya pencatatan, pasangan suami istri mendapatkan perlindungan hukum dalam berbagai urusan administratif seperti akta kelahiran anak, hak waris, dan status hukum keluarga. Tanpa pencatatan resmi, pernikahan bisa menimbulkan berbagai permasalahan hukum di kemudian hari, terutama bagi perempuan dan anak-anak.

Penulis juga menegaskan bahwa pemenuhan rukun dan syarat nikah bukan sekadar formalitas atau aturan administratif, tetapi juga memiliki makna moral dan spiritual yang mendalam. Ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk menjaga kesucian lembaga pernikahan dan melindungi hak-hak masing-masing pihak agar tidak terjadi penelantaran, penindasan, atau penyalahgunaan dalam rumah tangga. Pelaksanaan rukun dan syarat dengan benar juga menjadi bentuk kepatuhan terhadap ajaran agama dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur pernikahan dalam Islam. Di sisi lain, dengan adanya peraturan hukum nasional yang mengatur hal serupa, seperti Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), negara memberikan landasan hukum yang kuat agar pernikahan umat Islam di Indonesia tidak hanya sah menurut agama, tetapi juga memiliki kepastian hukum di mata negara. Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa pemahaman tentang rukun dan syarat pernikahan sangat penting dimiliki oleh setiap umat Islam agar pelaksanaan pernikahan dapat berjalan sesuai dengan tuntunan agama dan hukum yang berlaku. Pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat tidak hanya akan sah di mata agama, tetapi juga terlindungi secara hukum. Dengan demikian, pernikahan tidak hanya menjadi ikatan lahir batin antara dua insan, tetapi juga menjadi lembaga sosial yang memiliki nilai ibadah, hukum, dan moral. Jika semua unsur terpenuhi dengan baik, maka pernikahan akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah keluarga yang damai, penuh cinta, dan diliputi kasih sayang Allah SWT.

D. Pencatatan perkawinan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun