Judul Buku: Peradilan Agama dan Aktualisasi Hukum Islam di Indonesia
Penulis: Dr. Sri Lumatus Sa'adah, M.H.I.,
Reviewer: Ifadatus Tsaniyah
Nim: 232121063
Kelas: HKI 5B
PendahuluanÂ
Buku 'Peradilan Agama dan Aktualisasi Hukum Islam di Indonesia' karya Dr. Sri Lumatus Sa'adah merupakan salah satu karya ilmiah yang menjelaskan perjalanan panjang dan perkembangan peradilan agama di Indonesia dalam konteks hukum Islam. Buku ini membahas tentang dasar, fungsi, serta aktualisasi hukum Islam di Indonesia dengan menyoroti peran peradilan agama sebagai lembaga yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mengimplementasikan nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, dan moralitas dalam kehidupan masyarakat. Melalui penjelasan historis dan normatif, penulis berupaya memperlihatkan bahwa hukum Islam tidak bersifat kaku, melainkan dinamis dan adaptif terhadap perubahan sosial.
Bab I : Peradilan Agama dan Berlakunya Hukum Islam di Indonesia.
Bab pertama buku ini memaparkan sejarah panjang peradilan agama sejak masa awal masuknya Islam hingga masa modern. Penulis menjelaskan bahwa sistem peradilan agama telah ada sejak awal kedatangan Islam di Nusantara pada abad ke-7 Masehi. Pada masa itu, lembaga seperti qadhi atau ulama berperan dalam menyelesaikan sengketa masyarakat secara adil di serambi masjid, yang kemudian dikenal sebagai sistem peradilan serambi. Model ini menegaskan bahwa hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat jauh sebelum terbentuknya negara modern.
Selanjutnya, penulis menjelaskan perkembangan peradilan agama pada masa kolonial Belanda yang mengalami pembatasan kewenangan melalui berbagai kebijakan seperti Staatsblad 1882 No. 152 dan Staatsblad 1937 No. 116. Melalui kebijakan tersebut, peradilan agama hanya diizinkan menangani perkara nikah, talak, rujuk, dan nafkah. Pembatasan ini menunjukkan adanya upaya kolonial untuk menekan penerapan hukum Islam di masyarakat. Namun, di sisi lain, penulis juga menyoroti bahwa eksistensi peradilan agama tetap bertahan karena memiliki legitimasi sosial dan religius yang kuat di kalangan umat Islam.
Setelah kemerdekaan, posisi peradilan agama mulai diperkuat. Didirikannya Departemen Agama pada tahun 1946 menjadi tonggak penting dalam pembinaan lembaga ini. Kemudian lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 menjadi puncak pengakuan peradilan agama sebagai bagian dari sistem peradilan nasional yang sejajar dengan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara. Perubahan selanjutnya terjadi dengan UU No. 3 Tahun 2006 yang memperluas kewenangan pengadilan agama hingga mencakup ekonomi syariah. Dalam konteks ini, buku ini menggambarkan dengan jelas bahwa hukum Islam mengalami proses panjang menuju pengakuan konstitusional dalam negara hukum Indonesia.
Analisis penulis dalam bab ini memperlihatkan bahwa peradilan agama di Indonesia memiliki dasar historis, sosiologis, dan normatif yang kuat. Kelebihan bab ini terletak pada kemampuan penulis menyajikan kronologi sejarah dengan runtut dan mudah dipahami. Namun, analisisnya masih bisa diperdalam dengan menyoroti dampak sosial dari pembatasan dan pengakuan hukum Islam terhadap masyarakat muslim di berbagai daerah.
Bab II : Kewenangan Pengadilan Agama dan Hukum Perdata Islam
Bab ini menjelaskan tentang ruang lingkup kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki Pengadilan Agama, serta hubungannya dengan hukum perdata Islam di Indonesia. Setelah melalui proses panjang sejak masa awal Islam hingga masa modern, pengadilan agama kini menjadi lembaga hukum resmi negara yang memiliki peran penting dalam menyelesaikan persoalan hukum bagi umat Islam. Lembaga ini menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, hingga ekonomi syariah.
A. Pengertian Kompetensi Pengadilan Agama
Istilah kompetensi berarti kewenangan atau batas kekuasaan yang diberikan kepada suatu lembaga hukum untuk memeriksa dan memutus perkara. Dalam konteks pengadilan agama, kompetensi menjelaskan jenis perkara apa saja yang boleh dan tidak boleh diadili oleh lembaga ini. Jadi, pengadilan agama hanya berwenang menangani perkara yang menyangkut hukum Islam dan pihak-pihak yang beragama Islam. Dasar hukum kewenangan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Melalui undang-undang tersebut, kedudukan pengadilan agama diakui sejajar dengan lembaga peradilan lain seperti peradilan umum, militer, dan tata usaha negara. Pengadilan agama diberi kekuasaan untuk menyelesaikan perkara yang bersumber dari ajaran Islam, seperti masalah perkawinan, waris, wakaf, zakat, dan berbagai transaksi ekonomi berbasis syariah. Namun, syaratnya, para pihak yang berperkara harus sama-sama beragama Islam.
B. Kompetensi Absolut dan Relatif Pengadilan Agama
Dalam dunia peradilan, ada dua jenis kewenangan yang dikenal, yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum atau daerah tempat pengadilan agama tersebut berwenang. Artinya, setiap pengadilan agama hanya boleh menangani perkara yang terjadi dalam wilayah hukumnya sendiri. Misalnya, bila pihak tergugat tinggal di Surabaya, maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Agama Surabaya. Pembagian wilayah hukum ini bertujuan agar proses sidang berjalan lebih efisien, mudah diakses oleh para pihak, dan menghindari tumpang tindih antar pengadilan. Sementara itu, kompetensi absolut berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi tanggung jawab pengadilan agama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, pengadilan agama memiliki kewenangan untuk menangani berbagai perkara di bidang hukum Islam, di antaranya:
1. Perkawinan, seperti nikah, talak, cerai, rujuk, izin poligami, dan pembagian harta bersama.
2. Kewarisan, yang mencakup penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan menurut hukum Islam.
3. Wasiat dan hibah, selama dilakukan berdasarkan ajaran Islam.
4. Wakaf, zakat, infak, dan sedekah, termasuk jika muncul sengketa dalam pengelolaannya.
5. Ekonomi syariah, yang meliputi kontrak bisnis syariah, perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan agama hanya memiliki kewenangan dalam urusan perkawinan saja. Namun, setelah reformasi hukum dan adanya pembaruan undang-undang, ruang lingkup kewenangan pengadilan agama semakin luas, terutama dengan masuknya bidang ekonomi syariah. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam bisa berkembang dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman serta diakui perannya dalam sistem hukum nasional.
C. Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI)Â
Sebelum adanya pedoman hukum yang baku, hakim di pengadilan agama sering menemui kendala karena belum ada aturan tertulis yang seragam tentang hukum Islam di Indonesia. Mereka biasanya merujuk pada kitab-kitab fikih klasik, yang sering kali berbeda pandangan antar mazhab. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah bersama para ulama dan ahli hukum kemudian menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai panduan tertulis bagi para hakim. KHI ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan menjadi rujukan resmi di seluruh pengadilan agama Indonesia. Isi KHI mencakup tiga bidang utama, yaitu:
1. Hukum Perkawinan, yang mengatur rukun nikah, syarat sah pernikahan, perceraian, dan harta bersama.
2. Hukum Kewarisan, yang menjelaskan siapa saja yang menjadi ahli waris, bagian masing-masing, serta aturan penggantian waris.
3. Hukum Perwakafan, yang mengatur syarat-syarat wakaf, tata cara penyerahan, dan tugas nazhir.
Dengan adanya KHI, hakim memiliki pedoman hukum yang seragam dan mudah digunakan saat memutus perkara. Selain itu, KHI juga menjadi langkah penting dalam kodifikasi hukum Islam, yaitu usaha menuliskan hukum Islam agar bisa diterapkan secara resmi di Indonesia.
Bab III Â : Aktualisasi Hukum Perkawinan di Indonesia
Bab ini membahas secara mendalam tentang penerapan dan perkembangan hukum perkawinan Islam dalam konteks hukum nasional Indonesia. Penulis menjelaskan bahwa perkawinan merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia karena menyangkut pembentukan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Dari keluarga yang baik dan harmonis akan lahir masyarakat yang tertib dan bangsa yang kuat. Dalam ajaran Islam, perkawinan tidak hanya dilihat sebagai hubungan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, tetapi juga sebagai ikatan spiritual yang sakral. Perkawinan dipandang sebagai ibadah dan perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizha) antara suami dan istri, dengan tujuan utama untuk menciptakan keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (penuh kasih sayang), dan rahmah (diliputi kasih Allah). Oleh karena itu, hukum perkawinan di Indonesia harus mampu mencerminkan nilai-nilai syariat Islam, sambil tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
A. Pengertian perkawinan
Menurut hukum Islam, perkawinan (nikah) adalah akad yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan rumah tangga yang tenteram dan diridai oleh Allah SWT. Tujuan utamanya bukan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan juga sebagai sarana menjaga kehormatan diri, memperkuat hubungan sosial, dan melahirkan keturunan yang saleh. Melalui perkawinan, seseorang belajar arti tanggung jawab, kesetiaan, dan kerja sama dalam kehidupan. Islam memandang pernikahan sebagai sunnah Rasulullah SAW yang sangat dianjurkan karena membawa kemaslahatan bagi individu maupun masyarakat. Suatu perkawinan dianggap sah menurut Islam apabila memenuhi rukun dan syaratnya, yaitu adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul yang jelas. Namun, dalam konteks negara, pernikahan juga harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) agar memiliki kekuatan hukum dan diakui secara administratif. Pencatatan ini penting untuk memberikan perlindungan hukum kepada suami, istri, maupun anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
B. Prinsip pernikahan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang ini menjadi landasan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Namun bagi umat Islam, pelaksanaan pernikahan diatur lebih rinci dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan dicatatkan sesuai peraturan yang berlaku. Artinya, bagi umat Islam, pernikahan baru diakui sah oleh negara apabila telah dilaksanakan sesuai syariat Islam dan didaftarkan di KUA. Undang-undang ini juga menetapkan sejumlah asas penting dalam hukum perkawinan, antara lain asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh memiliki satu istri. Namun, undang-undang tetap membuka peluang bagi poligami dengan syarat tertentu, seperti adanya izin dari pengadilan agama dan persetujuan dari istri. Selain itu, undang-undang menegaskan pentingnya asas persetujuan kedua calon mempelai, asas kedewasaan (usia minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan), serta asas pencatatan perkawinan untuk menjamin kepastian hukum. Dalam hal hak dan kewajiban, suami memiliki tanggung jawab memberikan nafkah, melindungi, dan membimbing istrinya, sedangkan istri berkewajiban mengurus rumah tangga dan menjaga kehormatan keluarga. Keduanya harus saling menghormati dan bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga.
C. Rukun dan Syarat Pernikahan
penulis menjelaskan bahwa suatu pernikahan baru dianggap sah jika telah memenuhi unsur-unsur pokok dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak hanya dipahami sebagai ikatan sosial antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ibadah yang bernilai tinggi serta perjanjian suci yang disebut mitsaqan ghalizha. Oleh karena itu, pelaksanaan pernikahan harus mengikuti aturan yang telah digariskan syariat Islam agar pernikahan tersebut benar-benar sah dan membawa keberkahan. Penulis membedakan antara rukun nikah dan syarat nikah, di mana rukun merupakan hal-hal pokok yang wajib ada dalam pelaksanaan akad nikah, sementara syarat adalah ketentuan yang harus dipenuhi agar rukun tersebut sah dan pelaksanaannya tidak cacat hukum.
Menurut penjelasan penulis, rukun nikah dalam Islam terdiri atas lima unsur utama, yaitu calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul. Setiap unsur memiliki kedudukan yang penting dan tidak dapat diabaikan. Pertama, calon suami dan calon istri haruslah orang yang beragama Islam, berakal sehat, tidak dalam tekanan atau paksaan, dan tidak memiliki halangan untuk menikah, misalnya tidak memiliki hubungan darah (mahram) atau tidak sedang terikat perkawinan lain. Kedua, adanya wali nikah merupakan syarat mutlak bagi calon pengantin perempuan, sebab wali berfungsi untuk mewakili perempuan dalam akad dan memastikan pernikahan dilakukan dengan benar serta bertujuan baik. Wali yang sah menurut urutan nasab adalah ayah kandung, kemudian kakek, saudara laki-laki, dan seterusnya.
Ketiga, harus ada dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat, yakni beragama Islam, telah dewasa (baligh), berakal sehat, serta dikenal sebagai orang yang adil. Kehadiran saksi ini menjadi bukti bahwa pernikahan dilakukan secara terbuka dan tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Keempat, unsur yang paling penting dalam akad nikah adalah ijab dan qabul, yaitu pernyataan serah terima antara wali dan calon suami. Ijab biasanya diucapkan oleh wali atau wakilnya, sedangkan qabul diucapkan oleh calon suami sebagai bentuk penerimaan atas akad tersebut. Lafaz ijab dan qabul harus diucapkan dengan jelas, berada dalam satu majelis, dan tidak diselingi oleh hal lain agar akad dianggap sah. Ketika kelima unsur ini terpenuhi, maka pernikahan tersebut sah menurut agama Islam.
Selain rukun, penulis juga menjelaskan tentang syarat-syarat pernikahan, baik syarat bagi calon mempelai maupun syarat pelaksanaan akad. Syarat bagi calon suami dan istri di antaranya adalah sudah cukup umur, berakal sehat, dan mampu bertanggung jawab dalam rumah tangga. Dalam konteks hukum di Indonesia, syarat usia minimal menikah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia menikah bagi laki-laki dan perempuan sama, yaitu minimal 19 tahun. Ketentuan ini dibuat agar pernikahan dilakukan oleh pasangan yang sudah matang secara fisik dan mental, sehingga mampu mewujudkan tujuan pernikahan secara baik. Selain itu, pernikahan tidak boleh dilakukan dalam keadaan ihram (bagi yang sedang menunaikan ibadah haji atau umrah), tidak boleh dengan orang yang masih menjadi istri orang lain, dan tidak boleh dengan orang yang sedang dalam masa iddah.
Adapun syarat pelaksanaan akad nikah mencakup beberapa hal penting, seperti dilaksanakannya akad di hadapan wali dan dua orang saksi, adanya kesepakatan antara kedua calon mempelai tanpa paksaan, serta pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hukum agama maupun hukum negara. Dalam konteks Indonesia, penulis juga menekankan pentingnya pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). Walaupun pencatatan ini bukan bagian dari syarat sahnya pernikahan menurut agama, namun pencatatan menjadi sangat penting agar pernikahan tersebut diakui oleh negara. Dengan adanya pencatatan, pasangan suami istri mendapatkan perlindungan hukum dalam berbagai urusan administratif seperti akta kelahiran anak, hak waris, dan status hukum keluarga. Tanpa pencatatan resmi, pernikahan bisa menimbulkan berbagai permasalahan hukum di kemudian hari, terutama bagi perempuan dan anak-anak.
Penulis juga menegaskan bahwa pemenuhan rukun dan syarat nikah bukan sekadar formalitas atau aturan administratif, tetapi juga memiliki makna moral dan spiritual yang mendalam. Ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk menjaga kesucian lembaga pernikahan dan melindungi hak-hak masing-masing pihak agar tidak terjadi penelantaran, penindasan, atau penyalahgunaan dalam rumah tangga. Pelaksanaan rukun dan syarat dengan benar juga menjadi bentuk kepatuhan terhadap ajaran agama dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur pernikahan dalam Islam. Di sisi lain, dengan adanya peraturan hukum nasional yang mengatur hal serupa, seperti Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), negara memberikan landasan hukum yang kuat agar pernikahan umat Islam di Indonesia tidak hanya sah menurut agama, tetapi juga memiliki kepastian hukum di mata negara. Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa pemahaman tentang rukun dan syarat pernikahan sangat penting dimiliki oleh setiap umat Islam agar pelaksanaan pernikahan dapat berjalan sesuai dengan tuntunan agama dan hukum yang berlaku. Pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat tidak hanya akan sah di mata agama, tetapi juga terlindungi secara hukum. Dengan demikian, pernikahan tidak hanya menjadi ikatan lahir batin antara dua insan, tetapi juga menjadi lembaga sosial yang memiliki nilai ibadah, hukum, dan moral. Jika semua unsur terpenuhi dengan baik, maka pernikahan akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah keluarga yang damai, penuh cinta, dan diliputi kasih sayang Allah SWT.
D. Pencatatan perkawinan
Penulis menegaskan bahwa pencatatan bukan hanya persoalan administratif semata, tetapi juga merupakan bentuk tanggung jawab hukum yang memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status suami, istri, dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Dalam pandangan hukum Islam, pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat nikah, seperti adanya wali, saksi, dan ijab qabul yang sah. Namun dalam sistem hukum nasional Indonesia, pernikahan baru diakui sah apabila selain memenuhi ketentuan agama, juga dicatatkan secara resmi sesuai peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa "tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dengan demikian, pencatatan menjadi jembatan penting antara sahnya pernikahan menurut agama dan pengakuan sah dari negara.
Penulis menerangkan bahwa pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi umat Islam dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) melalui petugas pencatat nikah. Prosedur pencatatan dimulai dari pendaftaran calon mempelai, pemeriksaan kelengkapan berkas administrasi, pelaksanaan akad nikah, hingga penerbitan akta nikah. Akta nikah merupakan bukti resmi yang memiliki kekuatan hukum dan dapat digunakan dalam berbagai keperluan, seperti mengurus akta kelahiran anak, hak waris, status hukum istri dan suami, hingga urusan perceraian. Tanpa adanya pencatatan resmi, pernikahan tidak akan tercatat dalam sistem administrasi negara, sehingga pasangan suami istri berpotensi menghadapi berbagai kesulitan hukum di kemudian hari.
Lebih lanjut, penulis menekankan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sahnya pernikahan dalam hukum Islam, melainkan sebagai bentuk pelengkap agar pernikahan tersebut memiliki kekuatan hukum di mata negara. Dengan kata lain, secara agama, pernikahan tetap sah jika memenuhi rukun dan syarat nikah, namun tanpa pencatatan, pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum formal. Akibatnya, banyak dampak negatif yang bisa timbul, terutama bagi perempuan dan anak. Misalnya, istri yang menikah tanpa pencatatan tidak dapat menuntut hak-haknya secara hukum jika terjadi penelantaran atau kekerasan, karena pernikahan itu tidak diakui oleh negara. Begitu pula anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat akan kesulitan memperoleh akta kelahiran atau pengakuan status hukum sebagai anak sah. Dengan demikian, pencatatan bukan hanya formalitas, tetapi juga sarana untuk melindungi hak-hak hukum keluarga.
Penulis juga menyoroti maraknya praktik nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan agama tanpa dicatatkan di KUA. Meskipun sah secara agama, nikah siri sering menimbulkan persoalan serius di masyarakat. Banyak perempuan dan anak menjadi korban karena tidak mendapatkan perlindungan hukum. Ketika terjadi perceraian, misalnya, istri tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut nafkah, harta bersama, maupun hak asuh anak. Oleh karena itu, negara mewajibkan pencatatan perkawinan agar semua pernikahan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan adanya pencatatan resmi, negara juga dapat menciptakan tertib administrasi kependudukan, serta menjadikan data perkawinan sebagai dasar perencanaan kebijakan di bidang keluarga, sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam perspektif hukum Islam, kewajiban pencatatan perkawinan sejalan dengan prinsip maslahah mursalah, yaitu upaya menjaga kemaslahatan umat dan mencegah kemudaratan. Islam sangat menekankan keterbukaan dalam setiap perbuatan hukum agar tidak menimbulkan fitnah, sengketa, atau kerugian di kemudian hari. Dengan mencatatkan perkawinan, pasangan suami istri telah melaksanakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial dan moral dalam masyarakat. Pencatatan menjadi sarana untuk menjamin transparansi, kejujuran, serta tanggung jawab dalam pernikahan, sesuai dengan semangat Islam yang menempatkan perkawinan sebagai perjanjian yang luhur dan tidak boleh disembunyikan. Penulis juga menguraikan peran Pengadilan Agama dalam menangani perkawinan yang belum dicatatkan secara resmi. Dalam beberapa kasus, pasangan sudah menikah secara agama namun belum memiliki bukti hukum yang sah. Untuk menyelesaikan hal tersebut, pasangan dapat mengajukan isbat nikah ke pengadilan agama. Melalui mekanisme ini, hakim akan memeriksa keabsahan pernikahan berdasarkan hukum Islam. Jika terbukti bahwa pernikahan telah memenuhi semua rukun dan syarat sahnya, maka pengadilan akan menetapkan isbat nikah yang dapat digunakan untuk mencatatkan pernikahan di KUA. Prosedur ini menjadi solusi bagi masyarakat agar pernikahan mereka mendapatkan pengakuan hukum tanpa harus mengulangi akad nikah. Penulis menegaskan bahwa pencatatan perkawinan tidak hanya berkaitan dengan persoalan hukum formal, tetapi juga mencerminkan kepatuhan warga negara terhadap hukum agama dan hukum negara. Melalui pencatatan, pernikahan tidak lagi dianggap sebagai urusan pribadi semata, tetapi juga sebagai institusi sosial yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat. Pencatatan menunjukkan bahwa pernikahan dilakukan secara sah, bertanggung jawab, dan transparan. Hal ini menjadi bentuk perlindungan tidak hanya bagi individu yang menikah, tetapi juga bagi anak-anak dan keturunannya. Pada bagian akhir, penulis menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan adalah jembatan yang menghubungkan hukum Islam dengan hukum nasional. Pencatatan tidak mengubah prinsip-prinsip dasar syariat, melainkan memperkuat kedudukan hukum pernikahan agar diakui dan dilindungi oleh negara. Dengan adanya pencatatan, setiap pasangan memiliki bukti hukum yang sah untuk melindungi hak-hak mereka. Jika suatu hari terjadi sengketa atau permasalahan hukum, bukti pencatatan ini akan menjadi dasar bagi pengadilan untuk menegakkan keadilan. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan tidak boleh dianggap remeh. Ia adalah bentuk tanggung jawab hukum, sosial, dan moral yang wajib dilaksanakan oleh setiap warga negara agar lembaga pernikahan tetap terjaga kehormatannya, melindungi hak-hak keluarga, dan menciptakan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera.
E. Perjanjian dalam perkawinan/ perjanjian pra nikah
Pada subbab ini, penulis menjelaskan secara rinci tentang perjanjian dalam perkawinan, atau yang lebih dikenal sebagai perjanjian pra nikah, sebagai salah satu aspek penting dalam hukum perkawinan di Indonesia. Perjanjian ini dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum atau pada saat akad nikah dilangsungkan. Tujuannya adalah untuk mengatur hal-hal tertentu yang berkaitan dengan hak, kewajiban, serta tanggung jawab masing-masing pihak selama menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam pandangan penulis, perjanjian pra nikah bukan merupakan bentuk ketidakpercayaan antara calon pasangan, melainkan sebagai langkah hukum yang bijaksana untuk memberikan kejelasan dan perlindungan terhadap hak-hak kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian tersebut, hubungan perkawinan diharapkan dapat berjalan lebih harmonis, terhindar dari konflik, dan masing-masing pihak memahami tanggung jawab serta batasan yang telah disepakati bersama.
Penulis menjelaskan dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberikan ruang bagi calon suami dan istri untuk membuat perjanjian secara tertulis sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Perjanjian tersebut harus disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan agar memiliki kekuatan hukum. Dalam praktiknya, perjanjian ini biasanya berisi kesepakatan yang berkaitan dengan harta kekayaan, seperti pemisahan harta pribadi, pengelolaan aset, tanggung jawab keuangan, atau pembagian hasil usaha selama perkawinan berlangsung. Setelah pernikahan dilangsungkan, isi perjanjian tersebut menjadi mengikat dan hanya dapat diubah berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, maupun kesusilaan.
Selanjutnya, penulis menjelaskan bahwa perjanjian pra nikah memiliki fungsi utama sebagai bentuk perlindungan hukum dan kepastian terhadap status harta masing-masing pihak. Dalam hukum perkawinan Indonesia, apabila pasangan tidak membuat perjanjian pra nikah, maka secara otomatis berlaku ketentuan tentang harta bersama, yaitu semua harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama suami dan istri. Dengan adanya perjanjian pra nikah, calon suami dan istri dapat sepakat untuk memisahkan harta kekayaan mereka, baik harta yang dimiliki sebelum maupun sesudah menikah. Hal ini bermanfaat agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari, misalnya dalam hal pembagian harta ketika terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak. Perjanjian ini juga melindungi pasangan dari kemungkinan tanggung jawab atas utang atau kewajiban keuangan yang dilakukan oleh salah satu pihak selama perkawinan.
Dalam perspektif hukum Islam, penulis menegaskan bahwa perjanjian pra nikah tidak bertentangan dengan ajaran syariat selama isinya tidak melanggar ketentuan agama. Islam pada dasarnya memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat kesepakatan selama kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Allah. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang berbunyi "al-muslimna 'al syurihim", yang berarti "orang-orang Islam terikat dengan syarat-syarat yang mereka sepakati," selama syarat tersebut tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dengan demikian, selama isi perjanjian pra nikah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, seperti keadilan dan kesetaraan, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dilaksanakan.
Penulis juga menekankan bahwa perjanjian pra nikah tidak hanya terbatas pada masalah harta, tetapi juga dapat mencakup kesepakatan lain yang dianggap penting oleh kedua calon mempelai, seperti tempat tinggal, pembagian tanggung jawab rumah tangga, pengelolaan keuangan keluarga, hingga pola pendidikan anak di masa depan. Namun, seluruh isi perjanjian harus didasarkan pada kesepakatan bersama dan tidak boleh merugikan salah satu pihak. Perjanjian yang dibuat secara sepihak atau di bawah tekanan tidak memiliki kekuatan hukum, karena inti dari perjanjian adalah adanya rasa rela (ridha) dari kedua belah pihak. Dengan demikian, perjanjian pra nikah mencerminkan sikap kedewasaan dan tanggung jawab hukum calon pasangan sebelum mereka memasuki kehidupan berumah tangga.
Penulis menegaskan bahwa agar perjanjian ini memiliki kekuatan hukum yang sah, maka perjanjian harus disahkan oleh pejabat pencatat nikah atau dibuat dalam bentuk akta notaris. Jika perjanjian hanya dibuat secara lisan atau tanpa dokumen tertulis yang sah, maka sulit digunakan sebagai alat bukti hukum ketika muncul sengketa. Dengan adanya pengesahan resmi, perjanjian pra nikah menjadi dokumen hukum yang diakui dan dapat dijadikan dasar penyelesaian masalah jika terjadi pelanggaran kesepakatan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dan hukum nasional sama-sama menekankan pentingnya keteraturan, kejelasan, dan tanggung jawab dalam setiap akad atau perjanjian yang memiliki dampak hukum.
Lebih jauh, penulis juga menyinggung bahwa di masyarakat Indonesia, perjanjian pra nikah masih sering dipandang negatif karena dianggap sebagai tanda ketidakpercayaan antara calon suami dan istri. Padahal, jika dipahami dengan benar, perjanjian ini justru merupakan bentuk antisipasi yang rasional dan bertanggung jawab. Dengan adanya perjanjian pra nikah, pasangan tidak hanya melindungi harta masing-masing, tetapi juga menjaga hubungan mereka dari potensi kesalahpahaman dan perselisihan di kemudian hari. Penulis menekankan bahwa perjanjian semacam ini harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu sebagai sarana untuk menciptakan hubungan yang sehat, jujur, dan saling menghargai antara suami dan istri.
Pada bagian penutup, penulis menyimpulkan bahwa perjanjian dalam perkawinan merupakan bagian penting dari sistem hukum perkawinan di Indonesia. Keberadaannya memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak, mencegah terjadinya konflik, dan memperkuat rasa tanggung jawab dalam hubungan rumah tangga. Dalam pandangan Islam, perjanjian pra nikah tidak mengurangi kesucian akad nikah, justru memperkuat prinsip keadilan dan keterbukaan yang diajarkan dalam syariat. Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang perjanjian perkawinan perlu disosialisasikan agar masyarakat tidak lagi memandangnya negatif, tetapi sebagai bentuk kesiapan dan kedewasaan dalam membangun rumah tangga yang harmonis, tertib, dan berkeadilan. Dengan demikian, perjanjian pra nikah bukan hanya sebuah dokumen hukum, melainkan juga wujud komitmen moral untuk menciptakan kehidupan pernikahan yang penuh tanggung jawab dan saling menghormati.
F. Perkawinan beda agama
Dalam subbab ini, penulis membahas mengenai pernikahan beda agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang memiliki keyakinan agama berbeda. Topik ini menjadi salah satu isu yang sering menimbulkan perdebatan di masyarakat Indonesia karena menyangkut persoalan hukum, agama, dan nilai-nilai sosial. Penulis menjelaskan bahwa pernikahan bukan hanya ikatan antara dua orang secara lahiriah, tetapi juga hubungan batin dan spiritual yang melibatkan keyakinan serta tanggung jawab moral terhadap Tuhan. Karena itu, perbedaan agama dalam perkawinan dapat memunculkan banyak persoalan, baik dari segi hukum agama, hukum negara, maupun dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari.
Menurut pandangan hukum Islam, pernikahan beda agama pada dasarnya tidak diperbolehkan, terutama bagi perempuan Muslim. Larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 221, yang melarang umat Islam menikah dengan orang musyrik sebelum mereka beriman. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesamaan iman menjadi syarat penting untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan berlandaskan nilai keislaman. Memang, dalam sebagian pandangan ulama klasik disebutkan bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani). Namun, penulis menegaskan bahwa dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan memiliki sistem hukum tersendiri, praktik seperti itu tidak disarankan karena dapat menimbulkan banyak permasalahan, seperti perbedaan cara beribadah, pendidikan anak, dan aturan hidup sehari-hari dalam rumah tangga.
Dari sisi hukum nasional, penulis menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Hal ini berarti, jika dalam agama Islam pernikahan beda agama tidak diizinkan, maka secara hukum negara, perkawinan tersebut juga tidak sah. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjadi dasar utama dalam menentukan keabsahan suatu perkawinan. Karena hukum Islam tidak membenarkan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, maka lembaga resmi seperti Kantor Urusan Agama (KUA) tidak berwenang mencatatkan pernikahan beda agama. Dengan demikian, negara secara otomatis tidak mengakui pernikahan tersebut secara administratif maupun hukum.
Penulis juga menguraikan bahwa sebagian pasangan yang tetap ingin menikah meskipun berbeda agama sering kali mencari cara lain untuk melangsungkan pernikahan. Misalnya, mereka menikah di Kantor Catatan Sipil atau melaksanakan dua kali prosesi pernikahan berdasarkan agama masing-masing. Akan tetapi, cara seperti ini sering menimbulkan kebingungan hukum karena bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan prinsip keagamaan. Dalam banyak kasus, pernikahan semacam ini juga tidak mendapatkan pengakuan dari pengadilan, sehingga status hukum pasangan dan anak-anak mereka menjadi tidak jelas. Selain itu, hal ini dapat menimbulkan persoalan administratif, seperti kesulitan dalam mengurus akta nikah, akta kelahiran anak, maupun hak-hak hukum lainnya.
Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa dari segi sosial dan moral, pernikahan beda agama kerap menimbulkan ketegangan dalam kehidupan rumah tangga. Perbedaan keyakinan bisa memicu pertentangan dalam menjalankan ibadah, mengatur pola pendidikan anak, serta dalam menentukan arah kehidupan keluarga. Dalam ajaran Islam, pernikahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis atau sosial, tetapi juga sebagai bentuk ibadah dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, kesamaan iman sangat penting agar pasangan dapat saling mendukung dalam beribadah dan menjaga keutuhan rumah tangga. Bila terdapat perbedaan keyakinan, maka dikhawatirkan akan sulit bagi pasangan tersebut untuk hidup selaras dalam urusan spiritual dan moral.
Penulis juga menyoroti peran Pengadilan Agama, yang memiliki kewenangan dalam menangani perkara perkawinan bagi umat Islam. Karena hukum Islam melarang pernikahan beda agama, maka pengadilan agama tidak dapat memberikan izin maupun pengesahan terhadap pernikahan tersebut. Dengan kata lain, jika pasangan tetap memaksakan untuk menikah secara Islam meskipun berbeda agama, pernikahan itu tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dicatatkan di lembaga resmi negara. Akibatnya, pernikahan semacam itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga dapat menimbulkan masalah dalam hal status suami istri, hak waris, maupun perlindungan hukum bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Penulis menegaskan bahwa larangan pernikahan beda agama dalam Islam bukan dimaksudkan untuk membatasi kebebasan seseorang dalam memilih pasangan, melainkan untuk menjaga kemurnian akidah dan keharmonisan dalam rumah tangga. Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang harus dijaga kesatuannya, baik secara moral maupun spiritual. Jika perbedaan agama terjadi di dalam rumah tangga, dikhawatirkan akan timbul konflik batin dan kesulitan dalam menjalankan ibadah bersama. Karena itu, Islam menekankan pentingnya memilih pasangan yang seiman agar kehidupan rumah tangga dapat berjalan dengan damai, saling menghormati, dan penuh kasih sayang.
Pada bagian akhir, penulis menyimpulkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia tidak diakui baik secara hukum agama maupun hukum negara. Dalam pandangan Islam, pernikahan semacam itu jelas dilarang, sementara menurut hukum nasional, pernikahan hanya sah jika dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Artinya, pernikahan beda agama tidak hanya bertentangan dengan syariat, tetapi juga tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara. Penulis menekankan bahwa tujuan pernikahan bukan sekadar penyatuan dua individu, melainkan juga penyatuan nilai, keyakinan, dan visi hidup. Oleh karena itu, menikah dengan pasangan yang seiman menjadi hal yang penting agar keluarga yang dibentuk dapat hidup dalam keharmonisan, ketenteraman, serta senantiasa berada dalam lindungan dan ridha Allah SWT.
G. Kedudukan Harta dalam Perkawinan
Dalam pembahasan ini, penulis menjelaskan bahwa kedudukan harta dalam perkawinan merupakan hal yang penting untuk dipahami karena sering kali menjadi sumber permasalahan antara suami dan istri, baik ketika rumah tangga masih utuh maupun setelah terjadi perceraian. Dalam hukum perkawinan Indonesia, dikenal dua jenis harta, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah segala sesuatu yang diperoleh selama masa perkawinan, baik hasil kerja suami, istri, maupun usaha keduanya. Sementara itu, harta bawaan merupakan harta yang telah dimiliki sebelum pernikahan berlangsung atau yang didapat dari warisan, hadiah, dan hibah selama perkawinan. Pembagian ini dimaksudkan agar hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat diatur secara adil dan tidak saling merugikan.
Penulis menjelaskan bahwa pengaturan mengenai harta dalam perkawinan diatur secara jelas dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta yang dibawa oleh masing-masing suami atau istri sebelum menikah tetap menjadi milik pribadi. Hal ini berarti bahwa semua harta yang diperoleh selama masa perkawinan  tanpa memandang siapa yang mencari atau atas nama siapa harta tersebut didaftarkan  dianggap sebagai milik bersama. Prinsip ini menegaskan adanya kerja sama dan tanggung jawab bersama dalam membangun ekonomi keluarga, di mana peran suami dan istri sama-sama diakui.
Namun dalam praktiknya, penulis menyoroti bahwa harta bersama sering menjadi sumber konflik ketika rumah tangga berakhir dengan perceraian. Banyak pasangan yang memperdebatkan pembagian harta karena merasa lebih berhak atas hasil jerih payah yang diperoleh selama menikah. Dalam hal ini, hukum memberikan posisi yang sama antara suami dan istri. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), terutama pada Pasal 85 sampai Pasal 97, dijelaskan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama dan harus dibagi secara adil apabila terjadi perceraian. Adil di sini tidak selalu berarti dibagi dua sama rata, melainkan sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak dan berdasarkan pertimbangan keadilan yang dinilai oleh hakim.
Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa meskipun istilah harta bersama tidak ditemukan secara langsung dalam literatur hukum Islam klasik, konsep ini sejalan dengan ajaran Islam tentang musyarakah atau kerja sama. Dalam kehidupan rumah tangga, baik suami maupun istri dianggap berperan aktif dalam membangun dan menjaga kesejahteraan keluarga. Suami mungkin bekerja mencari nafkah, sementara istri mengatur rumah tangga, mendidik anak, dan mendukung keberhasilan suami. Kedua peran ini sama-sama penting dan saling melengkapi. Karena itu, hasil yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai hasil usaha bersama yang pantas dinikmati bersama pula. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pengakuan hukum terhadap keberadaan harta bersama di Indonesia.
Penulis juga menjelaskan bahwa harta bawaan memiliki kedudukan yang berbeda dengan harta bersama. Harta ini tetap menjadi hak milik pribadi dari masing-masing pihak dan berada di bawah kendali penuh pemiliknya. Artinya, suami atau istri bebas menggunakan atau mengelola harta bawaan tanpa harus meminta izin dari pasangannya, kecuali jika dibuat perjanjian perkawinan yang mengatur sebaliknya. Harta bawaan bisa berupa tanah, rumah, kendaraan, atau harta lain yang dimiliki sebelum menikah atau didapat melalui hibah dan warisan selama pernikahan. Dengan adanya pengaturan ini, hukum memberikan perlindungan terhadap hak kepemilikan pribadi agar tidak bercampur dengan harta hasil perkawinan.
Selain membahas pembagian harta, penulis juga menekankan pentingnya pengaturan harta dalam perkawinan sebagai bentuk perlindungan hukum, terutama bagi perempuan. Dalam banyak kasus, istri turut berperan besar dalam meningkatkan ekonomi keluarga, baik dengan bekerja maupun mendukung usaha suami, tetapi tidak sedikit yang tidak mendapatkan pengakuan secara hukum. Ketentuan tentang harta bersama memberikan jaminan bahwa kontribusi istri tetap dihargai, meskipun tidak dalam bentuk materi langsung. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam dan hukum nasional sama-sama menempatkan suami dan istri sebagai mitra yang sejajar dalam kehidupan rumah tangga, bukan satu pihak yang lebih tinggi dari yang lain.
Penulis juga menyoroti bahwa agar tidak timbul kesalahpahaman atau konflik di kemudian hari, pemisahan antara harta bersama dan harta bawaan perlu dilakukan secara tertib. Pasangan disarankan untuk mencatat dan mendokumentasikan dengan baik setiap aset yang dimiliki sebelum dan sesudah menikah. Hal ini tidak hanya membantu menjaga kejelasan hak milik, tetapi juga menjadi dasar hukum yang kuat jika suatu saat terjadi perceraian atau pembagian warisan. Pencatatan harta secara jelas dapat mencegah sengketa dan memberikan rasa aman bagi kedua belah pihak.
Di akhir pembahasan, penulis menyimpulkan bahwa kedudukan harta dalam perkawinan memiliki peran penting dalam menjaga keadilan dan keseimbangan dalam rumah tangga. Baik hukum Islam maupun hukum nasional sama-sama menekankan pentingnya kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab dalam pengelolaan harta keluarga. Suami dan istri diharapkan dapat saling menghargai peran dan kontribusi masing-masing dalam membangun kehidupan ekonomi bersama. Dengan adanya pemahaman yang baik tentang kedudukan harta, pasangan dapat terhindar dari pertikaian, menjaga keharmonisan rumah tangga, serta menciptakan kehidupan keluarga yang bahagia, tertib, dan sesuai dengan nilai-nilai hukum serta ajaran Islam
Bab IV: hukum kewarisan beserta aktualisasinya
Bab IV buku ini membahas secara menyeluruh tentang hukum kewarisan Islam dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Penulis menjelaskan bahwa hukum waris memiliki peran penting dalam menjaga keadilan, keseimbangan, dan ketertiban dalam pembagian harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia. Hukum kewarisan Islam berfungsi untuk mengatur pembagian harta secara proporsional kepada ahli waris yang berhak, agar tidak terjadi perebutan dan perselisihan di antara anggota keluarga. Prinsip utama dalam hukum waris Islam adalah keadilan dan kepastian hukum, yang berarti setiap ahli waris memperoleh bagiannya sesuai ketentuan syariat tanpa ada pihak yang dirugikan. Selain itu, hukum waris juga bertujuan menjaga hubungan kekeluargaan agar tetap harmonis setelah pewaris meninggal dunia. Dalam pembahasannya, penulis menjelaskan bahwa unsur utama dalam kewarisan Islam meliputi pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta wasiat atau hibah yang dapat memengaruhi pembagian harta. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta, sementara ahli waris adalah orang yang berhak menerima bagian berdasarkan hubungan darah atau pernikahan. Harta peninggalan dapat berupa uang, tanah, rumah, atau aset lainnya yang ditinggalkan oleh pewaris, sedangkan wasiat dan hibah merupakan bentuk pemberian yang dapat dilakukan oleh pewaris sebelum atau setelah wafat dengan syarat tertentu. Penulis menjelaskan bahwa pembagian harta warisan dalam Islam harus mengikuti ketentuan faraidh yang diatur dalam Al-Qur'an, yaitu dengan menentukan bagian pasti bagi setiap ahli waris seperti anak, orang tua, pasangan, dan kerabat dekat. Namun, dalam praktiknya, pembagian waris juga dapat dilakukan melalui jalan perdamaian (ishlah) apabila semua ahli waris sepakat untuk membagi harta dengan cara berbeda dari ketentuan faraidh, selama dilakukan secara sukarela dan tidak menghilangkan hak pihak lain. Sistem islah ini dianggap sebagai cara yang bijak untuk menjaga keharmonisan keluarga dan menghindari konflik berkepanjangan. Selain itu, penulis juga menjelaskan adanya hibah waris, yaitu pemberian harta semasa hidup oleh seseorang kepada orang lain, baik kepada ahli waris maupun bukan ahli waris, untuk mengatur pembagian agar lebih tertib dan adil. Hibah sering digunakan sebagai alternatif untuk menghindari sengketa setelah pewaris meninggal, namun pemberiannya harus dilakukan secara sah dan tidak boleh melebihi batas wajar yang dapat merugikan ahli waris lainnya. Dalam hukum Islam, pembagian melalui hibah dan wasiat tetap dibatasi oleh aturan agar tidak mengubah ketentuan dasar faraidh. Penulis juga menyoroti mekanisme penggantian ahli waris (ahli waris pengganti), yaitu ketika seorang ahli waris meninggal lebih dulu daripada pewarisnya, maka kedudukannya dapat digantikan oleh keturunannya agar hak keluarga tetap terjaga. Sistem ini penting untuk memastikan keadilan dan mencegah hilangnya hak generasi berikutnya. Selanjutnya, penulis membahas persoalan kewarisan antara Muslim dan non-Muslim serta anak tiri atau anak angkat. Dalam hukum Islam, perbedaan agama menjadi penghalang dalam pewarisan, sehingga seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta dari non-Muslim, dan sebaliknya. Namun, dalam praktik di Indonesia, solusi yang sering digunakan adalah pemberian hibah atau wasiat agar pihak non-Muslim atau anak angkat tetap mendapatkan bagian secara moral tanpa melanggar aturan syariat. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas hukum Islam dalam konteks kemaslahatan sosial. Penulis menekankan bahwa hukum kewarisan Islam tidak hanya mengatur pembagian angka-angka, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual dan sosial yang menekankan keadilan, kejujuran, dan kasih sayang antaranggota keluarga. Pengadilan Agama memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan hukum waris Islam agar diterapkan secara adil dan sesuai kebutuhan masyarakat modern, termasuk dalam menyelesaikan perselisihan warisan melalui cara damai atau musyawarah. Pada akhirnya, penulis menegaskan bahwa hukum kewarisan Islam tetap relevan sepanjang zaman karena mengandung prinsip universal yang menjunjung keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan keluarga. Penerapan hukum waris yang benar bukan hanya menjaga ketertiban hukum, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kebersamaan dan tanggung jawab antaranggota keluarga dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kelebihan dan kekurangan
Buku Peradilan Agama dan Aktualisasi Hukum Islam di Indonesia merupakan karya ilmiah yang menjelaskan secara menyeluruh tentang peran dan penerapan hukum Islam di Indonesia, terutama dalam ranah peradilan agama. Buku ini membahas berbagai aspek penting seperti sejarah perkembangan lembaga peradilan agama, hukum perkawinan, hukum kewarisan Islam, hingga upaya mengaktualisasikan ajaran Islam dalam sistem hukum nasional. Melalui susunan bab yang runtut, pembaca diajak memahami bagaimana nilai-nilai syariat diimplementasikan secara nyata dalam praktik hukum Indonesia.
- Kelebihan utama buku ini terletak pada isi yang lengkap dan tersusun dengan baik. Penulis berhasil memadukan antara teori hukum Islam dengan penerapannya di lapangan. Bahasa yang digunakan tergolong akademik namun tetap mudah dipahami, sehingga cocok dibaca oleh mahasiswa, dosen, maupun masyarakat umum yang ingin memahami hukum Islam. Selain membahas aturan hukum, penulis juga menonjolkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran Islam, seperti keadilan, kemaslahatan, dan kasih sayang. Setiap penjelasan hukum selalu dikaitkan dengan dalil Al-Qur'an, hadis, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, menjadikan buku ini kaya akan dasar hukum dan bernilai edukatif.
- kekurangan. Beberapa bagian terasa terlalu umum dan kurang mendalam, khususnya saat membahas penerapan hukum Islam dalam konteks sosial dan modern. Selain itu, penulis jarang menampilkan contoh kasus nyata dari praktik peradilan agama, sehingga pembahasan terkadang terasa teoretis. Gaya penulisan di beberapa bagian juga masih agak kaku, serta masih minim perbandingan dengan sistem hukum lain yang bisa memperluas perspektif pembaca. Secara keseluruhan, buku ini tetap menjadi bacaan yang sangat bermanfaat dan memiliki nilai akademik tinggi. Penulis mampu menjelaskan bahwa hukum Islam bukan sekadar kumpulan aturan, tetapi sistem yang menekankan keadilan dan kemaslahatan manusia. Buku ini juga menunjukkan bahwa peradilan agama memiliki peran penting dalam menjaga keharmonisan masyarakat Muslim di Indonesia. Dengan pembahasan yang moderat, sistematis, dan relevan dengan realitas hukum nasional, karya ini layak dijadikan rujukan utama bagi siapa pun yang ingin memahami hubungan antara syariat Islam dan praktik hukum di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI