MENGEMBALIKAN RUH PENDIDIKAN:Â
REFLEKSI PENANGANAN KASUS KEKERASAN DI SATUAN PENDIDIKAN DAN TANTANGAN MEMANUSIAKAN MANUSIA
Oleh Idris Apandi, Praktisi Pendidikan
Â
Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi proses memanusiakan manusia. Itulah hakikat pendidikan sebagaimana ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, yang menyebutkan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya --- manusia yang beradab, cerdas, dan bermoral. Dalam konsep Tri Pusat Pendidikan, Ki Hajar menegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan adalah tugas bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus bersinergi agar proses pendidikan berlangsung utuh dan bermakna.
Namun, dalam realitas hari ini, sinergi itu sering kali rapuh. Pendidikan menjadi beban salah satu pihak --- terutama guru --- sementara peran orang tua dan masyarakat tidak seimbang. Akibatnya, tugas guru menjadi sangat berat, bahkan kadang membuatnya berada dalam posisi serba salah: ketika terlalu lembut, murid menjadi tidak disiplin; ketika tegas, guru justru dianggap melanggar hak anak. Inilah potret kompleks dunia pendidikan kita hari ini.
Keluarga: Sekolah Pertama yang Semakin Terlupakan
Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama. Di rumah, anak pertama kali belajar berbicara, bersikap, menghargai, dan berinteraksi. Nilai-nilai seperti sopan santun, tanggung jawab, dan empati seharusnya ditanamkan di rumah sebelum anak mengenal dunia luar. Pola asuh orang tua sangat menentukan karakter anak.
Sayangnya, di era modern ini, banyak orang tua yang abai terhadap peran pendidikannya. Kesibukan bekerja, gaya hidup konsumtif, dan kemudahan teknologi membuat sebagian orang tua menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan kepada sekolah. Anak lebih banyak "diasuh" oleh gawai dan media sosial, ketimbang oleh orang tuanya sendiri. Padahal, pola asuh yang kurang bijak di rumah menjadi akar dari banyak masalah perilaku di sekolah: anak sulit diatur, tidak sopan, bahkan kehilangan empati terhadap orang lain.
Lebih ironis lagi, ketika terjadi masalah di sekolah, sebagian orang tua justru memposisikan diri sebagai pembela anak tanpa mau mendengarkan versi guru. Ketika anak dihukum atau ditegur karena melanggar aturan, orang tua sering kali langsung bereaksi emosional. Bukannya berdialog, mereka malah membawa persoalan itu ke media sosial atau bahkan ke pihak berwajib. Fenomena ini semakin mengikis kepercayaan antara sekolah dan keluarga, padahal keduanya seharusnya menjadi mitra sejajar dalam mendidik anak.
Sekolah: Mitra Orang Tua yang Kini Kehilangan Wibawa