GURU SADAR MENGAJAR, MURID SADAR BELAJAR: MENUMBUHKAN KESADARAN DALAM PEMBELAJARAN YANG BERMAKNA
Oleh Idris Apandi, Penulis Buku Memahami Deep Learning Tanpa Pening
Â
Di ruang kelas yang ramai, seorang guru berdiri di depan papan tulis. Di hadapannya, puluhan murid duduk sambil menatap layar gawai atau lembar tugas. Beberapa tampak antusias, sebagian lainnya sekadar menatap kosong. Di saat seperti itu, sering kali guru bertanya dalam hati, "Apakah mereka benar-benar belajar? Atau hanya mengikuti rutinitas karena kewajiban?" Pertanyaan sederhana ini sebenarnya menjadi pintu menuju hal yang jauh lebih dalam: kesadaran dalam pembelajaran.
Belajar yang Penuh Kesadaran
Salah satu prinsip dalam pembelajaran mendalam (deep learning) adalah berkesadaran. Artinya, murid belajar dengan penuh kesadaran --- bukan karena paksaan, bukan karena takut nilai jelek, melainkan karena memahami tujuan dan makna dari apa yang dipelajari.
Murid yang sadar belajar tahu mengapa ia belajar, untuk apa, dan bagaimana caranya. Ia memiliki kesadaran diri (self-awareness) dan kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulated learning). Ia mampu merancang strategi belajar, mengelola waktu, dan mengevaluasi hasilnya.
Namun kesadaran ini tidak lahir begitu saja. Ia tidak bisa dipaksakan melalui instruksi. Kesadaran harus ditumbuhkan, dan di balik murid yang belajar secara sadar, pasti ada guru yang mengajar secara sadar.
Guru Sadar Mengajar: Menghidupkan Makna di Ruang Kelas
Guru berkesadaran bukan sekadar pengajar yang menyampaikan materi. Ia adalah penuntun makna. Ia hadir secara utuh --- pikiran, hati, dan tindakannya sejalan dengan panggilan profesinya. Guru sadar bahwa mengajar bukan hanya soal kurikulum, tapi soal kehidupan. Ia tidak sekadar menuntaskan kompetensi, tapi berusaha menghadirkan nilai. Ia paham bahwa di setiap pembelajaran ada jiwa-jiwa yang sedang tumbuh dan mencari arah.
Sebelum mengajar, guru berkesadaran biasanya bertanya kepada dirinya sendiri:
- "Apa yang sebenarnya ingin saya capai dari pelajaran hari ini?"
- "Apakah kegiatan belajar ini akan membantu murid memahami makna hidupnya?"
- "Apakah saya sudah memberi ruang agar mereka bisa bertanya, berpendapat, dan menemukan?"
Guru yang sadar mengajar bukan hanya bicara, tetapi mendengarkan. Ia melihat murid bukan sebagai objek pembelajaran, melainkan sebagai subjek yang memiliki perasaan, pengalaman, dan potensi. Ia tidak hanya menilai hasil, tetapi juga memperhatikan proses dan usaha.
Guru berkesadaran juga mengajar dengan empati dan kehadiran penuh. Ia berlatih mindfulness---menenangkan diri sebelum masuk kelas, memusatkan perhatian pada interaksi yang terjadi, dan menyadari emosinya sendiri. Karena guru yang tenang mampu menenangkan muridnya; guru yang sadar mampu menumbuhkan kesadaran pada muridnya.
Menumbuhkan Kesadaran Murid
Membangun kesadaran murid bukan perkara instan. Butuh proses yang konsisten dan atmosfer belajar yang mendukung. Ada beberapa cara sederhana namun efektif yang bisa dilakukan guru di kelas:
1. Mulai dengan Tujuan yang Dipahami Murid
Sebelum belajar dimulai, ajak murid berdialog:
"Kita akan belajar tentang teks eksposisi. Menurut kalian, kenapa kemampuan menulis pendapat itu penting?", "Apa manfaatnya bagi kehidupan kalian nanti?" Pertanyaan reflektif semacam ini membuat murid merasa terlibat. Mereka tahu arah pembelajaran, bukan sekadar mengerjakan perintah. Dari sini, kesadaran belajar mulai tumbuh.
2. Berikan Ruang untuk Pilihan dan Tanggung Jawab
Kesadaran tidak lahir dari paksaan, tapi dari kebebasan yang disertai tanggung jawab. Guru bisa memberi murid pilihan dalam cara belajar --- misalnya membuat proyek, menulis artikel, atau membuat video kreatif. Saat murid memilih caranya sendiri, mereka belajar mengatur diri dan bertanggung jawab atas pilihannya.
3. Gunakan Refleksi sebagai Kebiasaan
Di akhir pelajaran, minta murid menulis refleksi singkat:
- Apa hal baru yang saya pelajari hari ini?
- Bagaimana perasaan saya saat belajar?
- Apa yang bisa saya perbaiki esok hari?
Refleksi sederhana ini menumbuhkan kesadaran akan proses dan perkembangan diri. Murid belajar untuk belajar --- bukan hanya untuk nilai.
Tantangan dalam Membangun Kesadaran Guru dan Murid
Membangun kesadaran bukan hal yang mudah. Ada berbagai hambatan yang sering muncul baik dari sisi guru maupun murid. Tantangan ini perlu dikenali agar bisa diatasi dengan bijak.
1. Tantangan bagi Guru
- Rutinitas yang melelahkan. Banyak guru terjebak pada tumpukan administrasi dan tekanan kurikulum, sehingga kehilangan ruang refleksi. Mengajar pun jadi mekanis dan terburu-buru.
- Kurangnya waktu untuk refleksi dan kolaborasi. Guru sering bekerja sendiri tanpa ruang berbagi pengalaman. Padahal, kesadaran tumbuh melalui dialog dan refleksi bersama.
- Tekanan hasil belajar. Fokus yang berlebihan pada capaian nilai kadang membuat guru mengabaikan proses pembentukan karakter dan kesadaran belajar murid.
Solusinya:
Guru perlu menyisihkan waktu khusus untuk refleksi diri --- meski hanya lima menit setelah kelas. Sekolah juga dapat membangun Komunitas Belajar Guru (KBG) untuk berbagi praktik reflektif. Penting juga bagi kepala sekolah dan pemangku kebijakan untuk memberi ruang dan apresiasi pada upaya guru dalam membangun proses, bukan sekadar mengejar hasil.
2. Tantangan bagi Murid
- Motivasi belajar yang rendah. Banyak murid belajar karena tuntutan, bukan kesadaran.
- Lingkungan belajar yang tidak mendukung. Kurangnya apresiasi terhadap usaha murid sering membuat mereka belajar tanpa makna.
- Kecanduan gawai dan distraksi digital. Fokus dan regulasi diri sulit dibangun jika murid terus berada dalam arus informasi cepat dan instan.
Â
Solusinya:
Guru perlu membantu murid menemukan relevansi nyata dari pembelajaran. Kaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari mereka. Gunakan pendekatan kontekstual, proyek sosial, atau pengalaman langsung. Selain itu, biasakan refleksi harian dan dialog terbuka agar murid belajar menyadari emosi, motivasi, dan tujuannya. Guru juga bisa membuat "jurnal kesadaran belajar" --- catatan sederhana untuk merekam pengalaman belajar murid setiap minggu.
Membangun Hubungan yang Sadar antara Guru dan Murid
Kesadaran tidak tumbuh dalam ruang yang dingin dan kaku. Ia butuh suasana yang hangat, aman, dan saling menghargai. Guru yang sadar mengajar akan memulai kelas dengan sapaan lembut, dengan senyum yang tulus, dengan keinginan untuk benar-benar hadir. Ia memberi kesempatan murid mengekspresikan diri tanpa takut disalahkan.
Bahasa yang digunakan juga penting. Guru berkesadaran menghindari kata-kata yang menghakimi seperti, "Kamu malas!" dan menggantinya dengan, "Saya perhatikan kamu belum fokus hari ini, ada yang bisa saya bantu?". Perubahan kecil dalam bahasa bisa mengubah cara murid memandang dirinya sendiri.
Ketika hubungan guru--murid dilandasi kesadaran dan empati, pembelajaran menjadi interaktif, komunikatif, dan manusiawi. Tidak ada jarak emosional. Guru dan murid sama-sama merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Â
Â
Â
Dari Rutinitas Menuju Kesadaran
Banyak guru yang mungkin merasa terjebak dalam rutinitas administratif, tumpukan laporan, dan tekanan hasil belajar. Namun di tengah segala itu, selalu ada ruang untuk mengembalikan makna.
Kesadaran mengajar tidak menuntut perubahan besar. Ia bisa dimulai dari hal kecil: menyapa murid dengan tulus, mendengarkan dengan sabar, memberi makna pada setiap kegiatan belajar. Perubahan kecil itu, bila dilakukan dengan konsisten, akan menciptakan pergeseran besar dalam budaya belajar di kelas.
Ketika guru sadar mengajar, murid akan merasakan kehadiran yang berbeda. Mereka akan meniru kesadaran itu --- bukan karena disuruh, tapi karena merasakannya. Di sinilah titik pertemuan indah antara guru dan murid: guru tumbuh karena mengajar, murid tumbuh karena belajar.
Penutup: Belajar untuk Menjadi
Pada akhirnya, tujuan pembelajaran bukan hanya agar murid "tahu lebih banyak", tetapi agar mereka menjadi lebih manusiawi. Guru berkesadaran memahami bahwa mengajar bukan hanya pekerjaan, melainkan panggilan jiwa. Dan murid berkesadaran belajar bukan hanya untuk nilai, tetapi untuk menemukan makna hidup dan kontribusinya bagi dunia.
Jika guru sadar mengajar dan murid sadar belajar, maka kelas bukan lagi ruang formal, melainkan ruang kehidupan. Di sana ada proses saling tumbuh, saling memahami, dan saling menguatkan. Itulah sejatinya pembelajaran mendalam --- bukan sekadar belajar untuk tahu, tapi belajar untuk menjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI