Kesadaran tidak tumbuh dalam ruang yang dingin dan kaku. Ia butuh suasana yang hangat, aman, dan saling menghargai. Guru yang sadar mengajar akan memulai kelas dengan sapaan lembut, dengan senyum yang tulus, dengan keinginan untuk benar-benar hadir. Ia memberi kesempatan murid mengekspresikan diri tanpa takut disalahkan.
Bahasa yang digunakan juga penting. Guru berkesadaran menghindari kata-kata yang menghakimi seperti, "Kamu malas!" dan menggantinya dengan, "Saya perhatikan kamu belum fokus hari ini, ada yang bisa saya bantu?". Perubahan kecil dalam bahasa bisa mengubah cara murid memandang dirinya sendiri.
Ketika hubungan guru--murid dilandasi kesadaran dan empati, pembelajaran menjadi interaktif, komunikatif, dan manusiawi. Tidak ada jarak emosional. Guru dan murid sama-sama merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Â
Â
Â
Dari Rutinitas Menuju Kesadaran
Banyak guru yang mungkin merasa terjebak dalam rutinitas administratif, tumpukan laporan, dan tekanan hasil belajar. Namun di tengah segala itu, selalu ada ruang untuk mengembalikan makna.
Kesadaran mengajar tidak menuntut perubahan besar. Ia bisa dimulai dari hal kecil: menyapa murid dengan tulus, mendengarkan dengan sabar, memberi makna pada setiap kegiatan belajar. Perubahan kecil itu, bila dilakukan dengan konsisten, akan menciptakan pergeseran besar dalam budaya belajar di kelas.
Ketika guru sadar mengajar, murid akan merasakan kehadiran yang berbeda. Mereka akan meniru kesadaran itu --- bukan karena disuruh, tapi karena merasakannya. Di sinilah titik pertemuan indah antara guru dan murid: guru tumbuh karena mengajar, murid tumbuh karena belajar.
Penutup: Belajar untuk Menjadi