MENULIS DI ERA AI: MASIHKAH LAYAK DISEBUT PENULIS?
Oleh: Idris Apandi, Penulis 1100-an Artikel dan 57 Buku
Perkembangan teknologi selalu membawa dua wajah: kemudahan sekaligus kegelisahan. Kehadiran Artificial Intelligence (AI) dalam dunia kepenulisan, misalnya, telah memicu perdebatan: apakah orang yang banyak menggunakan bantuan AI untuk menulis masih pantas disebut penulis? Dan apakah layak merasa bangga dengan karya tulis yang dihasilkan bersama mesin pintar itu?
Pertanyaan ini bukan sekadar teknis, tetapi menyentuh inti dari identitas seorang penulis. Mari kita renungkan bersama.
Definisi Penulis dan Peran Teknologi
Sejak dulu, penulis diartikan sebagai orang yang menghasilkan karya tulis, entah berupa buku, artikel, cerpen, atau sekadar catatan reflektif. Hakikatnya, menulis adalah proses menuangkan gagasan, imajinasi, atau pengalaman hidup ke dalam bahasa tertulis.
Sekarang, mari kita bandingkan. Ketika seorang arsitek menggambar rumah dengan bantuan komputer, apakah ia berhenti disebut arsitek? Tentu tidak. Begitu juga dengan penulis. Selama ide, arah, dan keputusan final lahir dari dirinya, maka ia tetap penulis, meski prosesnya melibatkan AI. Teknologi hanyalah pena digital---alat bantu yang mempercepat dan memudahkan. Namun, "roh" tulisan tetap ada pada manusianya.
Antara Bangga dan Ilusi
Lalu bagaimana dengan rasa bangga?
- Layak bangga, bila penulis menggunakan AI untuk memperluas sudut pandang, merapikan kalimat, atau membantu riset, tetapi tetap mengolah, mengedit, dan memberi sentuhan personal. Hasil akhirnya mencerminkan jati diri, bukan sekadar output mesin.
- Kurang layak bangga, bila seseorang hanya menyalin hasil AI bulat-bulat lalu mengklaim sebagai karyanya tanpa keterlibatan batin. Itu ibarat orang membeli kue di toko lalu mengaku sebagai pembuatnya. Mungkin enak disantap, tetapi bukan ia yang meraciknya.
Bangga itu lahir bukan karena "AI bisa menulis", tetapi karena diri kita berhasil menjadikan AI sebagai partner kreatif.
Menulis Itu Lebih dari Sekadar Kata