Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Transplantasi Official Assesment" dalam Penegakan Hukum Perpajakan di Indonesia

6 Oktober 2017   11:31 Diperbarui: 6 Oktober 2017   11:50 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: financialpost.com

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor: 01 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan (Perppu 01/2017) telah disahkan sebagai Undang-Undang dalam rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 27 Juli 2017. Dengan begitu, pengesahan Perppu 01/2017 menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR tersebut telah dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 22 A UUD 1945,  juncto Pasal 52 ayat (4) Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Menelaah Unsur Kegentingan Memaksa  

Secara historis, sebelum disahkannya Perppu 01/2017 tersebut menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR, Presiden telah menetapkan Perppu dimaksud pada tanggal 08 Mei 2017. Penetapan Perppu oleh Presiden dimaksud diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Kewenangan Presiden ini sudah berlaku semenjak pemeritahan Orde Lama, dan Orde Baru, kemudian dipertahankan secara konstitusi dalam konfigurasi politik hukum era Reformasi.

Kewenangan Presiden tersebut telah ditegaskan dalam penjelasan Pasal 22 UUD 1945 sebagai noodverordeningsrecht, yang dalam terminolgi dapat diartikan sebagai peraturan "bahaya". Sehingga bisa terjadi dualisme hukum, sebab Pasal 12 UUD 1945 menyangkut pula makna "bahaya". Oleh karenanya makna "bahaya" dalam Pasal 22 dituangkan kedalam teks UUD 1945 menjadi "kegentingan memaksa" berupa produk hukum yang bersifat mendesak dikarenakan ketidakhadiran DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang, sehingga dalam ayat selanjutnya ditekankan harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya.

Dengan demikian dapat dimaknai kewenangan Presiden dalam Pasal 22 UUD 1945 itu hanya dapat dilaksanakan dalam situasi tidak normal, atau tidak lazim, atau keadaan luar biasa dengan mengandung unsur kebutuhan yang wajar (reasonable necessity) dan waktu terbatas (limited time). Sedangkan dalam pengertian lainnya telah diterjemahkan pula melalui pertimbangan hakim (ratio decidendi) pada Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor: 138/PUU-VII/2009, yakni:

  • Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  • Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  • Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Mengutip ratio decidendi pada Mahkamah Konstitusi tersebut, maka kewenangan subjektif Presiden yang dijaminkan dalam Pasal 22 UUD 1945 tidaklah dimaknai secara absolut dan mutlak, melainkan kewenangan subjektif Presiden itu harus pula didasarkan pada keadaan-keadaan yang objektif pula.

Ontologi Kebijakan Sistem Perpajakan Di Indonesia

Lantas apakah penetapan Perppu 01/2017 oleh Presiden tersebut telah didasarkan pada keadaan yang objektif? Untuk mencari jawaban dari rumusan pertanyaan dimaksud, kita dapat melihat unsur pertimbangan Perppu 01/2017. Bahwa dalam salah satu pertimbangannya disebutkan karena Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional dibidang perpajakan sehingga berkewajiban dalam memenuhi komitmennya untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of financial account information) sebelum tanggal 30 Juni 2017. Perjanjian internasional ini diselenggarakan dalam forum global yang bernama Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposesdibentuk OECD (Organization for Economic Cooperation & Development) sebagai kelanjutan dari sebuah forum yang dibuat pada awal tahun 2000-an.

Kebijakan perpajakan semacam ini ini sebetulnya telah diaspirasikan lebih dulu dalam hukum hukum positif dalam sektor perbankan pada tahun 1992 melalui Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1992, yang kemudian pada tahun 1998 dipertahankan dengan diperbaiki redaksinya melalui Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Kebijakan politik hukum ini menjadi diperluas dalam konfigurasi politik Indonesia pada tahun 2017 kedalam sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan, serta entitas lainnya yang sejenis akibat adanya seruan G20 untuk memperkuat penerapan transparansi dan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017. Ihwal inilah kemudian ditafsirkan sebagai kegentingan memaksa oleh Presiden, sehingga pada tanggal 08 Mei 2017 ditetapkannya Perppu 01/2017 oleh Presiden, dan disahkan dalam rapat paripurna DPR menjadi undang-undang pada tanggal 27 Juli 2017.

EpistemologisKebijakan Sistem Perpajakan Di Indonesia

Oleh adanya realitas tersebut, maka dapat dikatakan kebijakan sistem perpajakan di Indonesia semenjak tahun 1983 telah terjadi perubahan sosial yang dimulai dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2017. Dimana pada tahun 1983, sistem kebijakan perpajakan peninggalan kolonial Belanda yang menerapkan pemungutan pajaknya dengan sistem offcial assessment telah ditinggalkan dengan digantikan dengan produk hukum buatan sendiri yang menganut sistem self assessment. Perbedaan kedua sistem ini terletak pada pemegang tanggung jawab (siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang. Jika dalam sistem official-assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan timbul menjadi tanggung jawab Fiskus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun