Mulai 1 Januari 2026, seluruh Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan SPM wajib memiliki sertifikat kompetensi. Kebijakan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan upaya sistematis mewujudkan pengelolaan APBN yang akuntabel dan transparan
Latar Belakang: Mengapa Sertifikasi Menjadi Keharusan?
Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan amanah besar yang menentukan arah pembangunan nasional. Setiap rupiah dari uang rakyat harus dikelola dengan penuh tanggung jawab, profesionalisme, dan akuntabilitas. Namun, dalam praktiknya masih ditemukan berbagai permasalahan akibat kurangnya kompetensi para pejabat perbendaharaan.
“Seperti pilot yang harus menguasai radar, pejabat keuangan harus paham sistem digital dan mengelola dana publik dengan penuh tanggung jawab,” demikian analogi yang tepat menggambarkan urgensi sertifikasi ini. Kesalahan administrasi, keterlambatan anggaran, bahkan potensi kerugian negara kerap terjadi karena minimnya pemahaman terhadap regulasi dan prosedur yang berlaku.
Besarnya tanggung jawab pengelolaan APBN yang mencapai ribuan triliun rupiah setiap tahunnya menuntut adanya standardisasi kompetensi yang ketat bagi para pengelola keuangan negara. Kompleksitas peraturan dan sistem yang terus berkembang memerlukan pemahaman mendalam dari setiap pejabat yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan.
Salah satu asas fundamental dalam pengelolaan keuangan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah asas profesionalitas. Asas ini mengutamakan keahlian dan berlandaskan kode etik serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menuntut pejabat perbendaharaan memiliki kemampuan untuk bertindak secara profesional.
Regulasi yang Mengatur: PMK 211/PMK.05/2019
Kewajiban sertifikasi kompetensi bagi PPK dan PPSPM diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 211/PMK.05/2019 tentang Tata Cara Penilaian Kompetensi bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar pada Satuan Kerja Pengelola APBN.
Regulasi ini menetapkan bahwa mulai 1 Januari 2026, setiap Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, atau anggota Polri yang diangkat sebagai PPK atau PPSPM wajib memiliki sertifikat kompetensi. Periode hingga 31 Desember 2025 merupakan masa peralihan yang memberikan kesempatan bagi pejabat yang sudah menjabat untuk memperoleh sertifikasi melalui berbagai mekanisme.
Jenis Sertifikasi
Kebijakan ini menetapkan tiga jenis sertifikasi utama:
- BNT (Bendahara Negara Tersertifikasi) - wajib sejak 2020
- PNT (PPK Negara Tersertifikasi) - wajib mulai 1 Januari 2026
- SNT (PPSPM Negara Tersertifikasi) - wajib mulai 1 Januari 2026
Mekanisme Sertifikasi
Selama masa peralihan, terdapat 10 mekanisme untuk memperoleh sertifikasi, antara lain:
- Konversi sertifikat pelatihan PPK/PPSPM
- Konversi sertifikat pengadaan barang/jasa
- Pengakuan sertifikat penyegaran (refreshment)
- Uji kompetensi terintegrasi dengan pelatihan
Setelah masa peralihan berakhir, semua calon PPK dan PPSPM harus mengikuti uji kompetensi penuh tanpa mekanisme konversi.
Persyaratan Peserta
Calon peserta sertifikasi harus memenuhi syarat:
- Berstatus ASN, prajurit TNI, atau anggota Polri
- Pendidikan minimal Diploma III atau setara
- Golongan minimal III/a atau setara
- Menduduki atau akan menduduki jabatan PPK/PPSPM
Dampak Positif: Transformasi Pengelolaan Keuangan
Implementasi sertifikasi wajib ini membawa sejumlah dampak positif yang signifikan:
1. Peningkatan Kualitas Pelaksanaan Anggaran
Pejabat yang tersertifikasi memiliki pemahaman mendalam tentang regulasi terbaru, termasuk Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan berbagai peraturan keuangan negara lainnya. Hal ini memastikan setiap keputusan diambil berdasarkan pemahaman yang komprehensif dan akurat.
2. Penguatan Akuntabilitas dan Transparansi
Setiap keputusan dan dokumen yang dihasilkan oleh pejabat tersertifikasi memiliki rekam jejak yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Kompetensi yang terukur dapat menutup celah terjadinya praktik-praktik yang menyimpang dari koridor peraturan yang berlaku.
3. Menekan Kesalahan Administratif
Dengan pemahaman yang memadai terhadap sistem digital seperti SAKTI dan OM-SPAN, pejabat tersertifikasi dapat meminimalkan kesalahan administrasi yang berpotensi menghambat pelaksanaan anggaran dan merugikan kinerja organisasi.
4. Pengembangan Karier Berkelanjutan
Bagi pejabat perbendaharaan, sertifikasi menjadi bagian dari pengembangan karier yang mendorong peningkatan kapasitas melalui Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPB) dan pembaruan pengetahuan secara sistematis.
5. Standardisasi Nasional
Sertifikasi menciptakan standar kompetensi yang seragam di seluruh Indonesia, memastikan kualitas pengelolaan keuangan yang konsisten dari Sabang hingga Merauke.
Tantangan dan Hambatan Implementasi
Meski memiliki tujuan mulia, implementasi kebijakan sertifikasi menghadapi sejumlah tantangan serius:
1. Kesenjangan Tingkat Kepatuhan
Masih terdapat kesenjangan yang cukup signifikan antara jumlah pejabat yang sudah tersertifikasi dengan yang belum memiliki sertifikat kompetensi. Hal ini menciptakan risiko operasional bagi banyak satuan kerja menjelang tenggat waktu implementasi.
2. Keterbatasan Sumber Daya Manusia
Permasalahan klasik satuan kerja berupa keterbatasan SDM, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, menjadi hambatan utama. Sebagian satker hanya memiliki sedikit pegawai di bagian keuangan, sehingga satu orang harus menangani berbagai tugas dan aplikasi keuangan sekaligus.
3. Beban Kerja Tinggi
Tingginya beban kerja operasional menyebabkan PPK dan PPSPM belum mempunyai waktu yang cukup untuk mengikuti pelaksanaan sertifikasi kompetensi. Prioritas pada tugas-tugas harian seringkali mengalahkan kepentingan jangka panjang seperti peningkatan kompetensi.
4. Kurangnya Dukungan Organisasi
Beberapa PPK dan PPSPM belum mendapatkan arahan yang jelas dari pimpinan untuk melakukan pendaftaran pelaksanaan sertifikasi kompetensi, menunjukkan lemahnya komitmen organisasi terhadap pengembangan SDM.
5. Kesenjangan Digital
Tidak semua pejabat memiliki kemampuan teknologi yang memadai untuk mengakses sistem digital dan platform pembelajaran online yang digunakan dalam proses sertifikasi.
6. Keterbatasan Akses Informasi
Masih ada satuan kerja di daerah terpencil yang mengalami kesulitan akses informasi terkait prosedur, jadwal, dan persyaratan sertifikasi yang terus berkembang.
Konsekuensi dan Penegakan
Implementasi kebijakan ini tidak main-main. Mulai 1 Januari 2026, satuan kerja yang PPK dan PPSPM-nya belum bersertifikat tidak dapat melakukan proses pembuatan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM). Hal ini secara langsung akan menghambat proses pelaksanaan anggaran pada satuan kerja tersebut.
Konsekuensi tegas ini dimaksudkan untuk mendorong kepatuhan penuh terhadap regulasi dan memastikan tidak ada satuan kerja yang mengabaikan kewajiban sertifikasi. Sistem akan secara otomatis memblokir akses pejabat yang tidak memiliki sertifikat kompetensi yang valid.
Dengan sisa waktu yang semakin terbatas menuju 1 Januari 2026, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak:
Bagi Satuan Kerja: - Segera identifikasi PPK dan PPSPM yang belum bersertifikat - Prioritaskan pendaftaran melalui aplikasi SIMASPATEN - Manfaatkan seluruh fasilitas dan dukungan yang disediakan - Lakukan perencanaan rotasi jabatan dengan mempertimbangkan kebutuhan sertifikasi - Alokasikan waktu khusus untuk proses sertifikasi
Bagi Pejabat Perbendaharaan: - Aktif mengikuti pelatihan dan sosialisasi - Mempersiapkan dokumen persyaratan dengan lengkap - Meningkatkan kompetensi melalui pembelajaran mandiri - Berkomitmen pada prinsip akuntabilitas dan transparansi - Manfaatkan platform pembelajaran digital yang tersedia
Bagi Pimpinan Organisasi: - Berikan dukungan penuh terhadap program sertifikasi - Alokasikan waktu dan sumber daya yang memadai - Integrasikan sertifikasi dengan sistem penilaian kinerja - Ciptakan budaya pembelajaran berkelanjutan
Kesimpulan: Investasi untuk Masa Depan
Sertifikasi wajib PPK dan PPSPM bukan sekadar pemenuhan regulasi, melainkan investasi strategis untuk masa depan pengelolaan keuangan negara. Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan menciptakan ekosistem pengelolaan APBN yang lebih profesional, akuntabel, dan efisien.
APBN memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui belanja yang berkualitas. Belanja negara yang berkualitas hanya dapat dicapai dengan pengelolaan yang profesional oleh para pengelola keuangan yang kompeten dan tersertifikasi.
Momentum menuju 1 Januari 2026 harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh seluruh stakeholder. Keberhasilan implementasi kebijakan ini akan tercermin dari kualitas pelayanan publik yang semakin baik dan kepercayaan masyarakat yang semakin tinggi terhadap pengelolaan keuangan pemerintah.
Sertifikasi kompetensi pejabat perbendaharaan merupakan benteng pertahanan baru yang memastikan setiap rupiah uang rakyat dikelola dengan penuh profesionalisme dan integritas. Transformasi ini menandai dimulainya era baru pengelolaan keuangan negara yang berbasis kompetensi, di mana setiap keputusan diambil oleh pejabat yang tidak hanya memiliki pengalaman, tetapi juga kompetensi yang terukur dan teruji.
Inilah saatnya membuktikan bahwa pengelolaan keuangan negara Indonesia siap memasuki era baru yang lebih transparan, akuntabel, dan berbasis kompetensi. Dengan dukungan semua pihak, sertifikasi wajib PPK dan PPSPM akan menjadi fondasi kuat bagi terwujudnya good governance dalam pengelolaan keuangan publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI