"Maksudnya?"
"Lupakan." Suli mendelik, lengannya menepis tanganku, tapi, tidak dengan keras seperti biasanya. Dia memalingkan wajahnya yang sudah tertangkap basah sedang bersemu kemerahan.
"Kamu, suka sama aku?"
Suli mengangguk kecil. Masih tidak mau menatap wajahku sama sekali. Gemasnya.
"Tapi, aku ini pria tua, lho? Kamu gak merasa aku kayak om-om?"
"Ck. Bukannya kamu yang bilang sendiri, kalau angka enam itu cuman angka satuan, gak ada bedanya?"
Aku tertawa kecil. Apa aku memang berhak menerima kebahagiaan ini? Seseorang seperti diriku yang terlihat sok peduli padahal selalu mementingkan kepentingannya terlebih dahulu.
Bisa-bisanya juga takdir mempermainkanku. Aku jatuh cinta pada seseorang yang pertama kali aku tolong seumur hidupku, 25 tahun yang lalu. Entah memang dunia ini sempit, apa mungkin karena memang begini adanya.
Aku masih tidak bisa mengerti.
Sebagai seorang penulis, aku selalu mencari jawaban akan segala pertanyaan yang ada. Selalu ingin bisa mengerti bagaimana cara kerja dunia yang kejam ini. Tetapi mungkin untuk saat ini aku tidak butuh semua itu.
Aku hanya butuh satu hal saja. Satu hal yang ingin aku jadikan satu-satunya teman untuk menghabiskan seluruh waktu sisa hidupku.