Mohon tunggu...
Ida S
Ida S Mohon Tunggu... Administrasi - Joyful

Youtube: https://www.youtube.com/channel/UC_VcRcUxjRCthjILM9AmNAA/ my blog: https://agrace2011.blogspot.com/ https://mywishes09.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Berniat Menjadi Mak Comblang, Berikut Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan

20 Mei 2021   22:06 Diperbarui: 21 Mei 2021   19:00 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mak Comblang (Sumber: pexels.com/Anastasiya Gepp)

Di Indonesia dan juga mungkin di beberapa negara lain, kedudukan orang yang sudah menikah seolah lebih tinggi daripada orang yang belum menikah di lingkungan sosial. Orang menikah dianggap sudah dewasa dan berhasil mencapai salah satu tujuan hidup manusia.

Sementara para lajang sering mendapat stigma negatif dari masyarakat, mulai dari dianggap terlalu pemilih, sombong, jual mahal, egois, pemarah, tidak bisa bergaul, hingga dicurigai orientasi seksualnya.

Bahkan sebutan kasar, seperti perjaka tua dan perawan tua seringkali dilontarkan orang-orang kepada para lajang. Padahal ada beberapa faktor atau keadaan yang tidak bisa dikontrol yang menyebabkan para lajang belum menikah.

Fenomena meningkatnya jumlah lajang di beberapa negara dikarenakan kesibukan bekerja sehingga waktu luang mereka terbatas seperti untuk berkencan atau membina hubungan dengan orang lain. Sebagian lagi para lajang merasa belum siap menikah karena merasa belum mapan sementara biaya kebutuhan hidup tinggi, dan berbagai alasan lainnya.

Dilansir dari cnnindonesia.com, sebuah survei terhadap orang Jepang berusia 18-34 tahun menemukan bahwa hampir 70 persen pria yang belum menikah dan 60 persen wanita yang belum menikah ternyata tidak memiliki pasangan atau tak menjalin hubungan.

Penelitian yang dilakukan pada Juni 2020 itu mencakup 8.754 orang lajang, Hampir 90 persen responden mengatakan mereka ingin menikah suatu saat nanti.

Studi tersebut dirilis oleh National Institute of Population and Social Security Research. Sementara itu penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa Jepang harus menemukan cara untuk menemukan jodoh. Jepang juga memiliki tingkat kelahiran anak yang rendah. 

Studi yang sama menemukan bahwa jumlah anak di antara pasangan yang telah menikah antara 15 dan 19 tahun rata-rata mencapai rekor terendah 1,94. Hal ini membuat pemerintah tak senang.

Demi mencegah penduduknya sexless dan meningkatkan angka kelahiran anak, pemerintah Jepang bakal menggelontorkan JPY2 miliar (sekitar Rp271 miliar) untuk membuat program mencari jodoh secara digital bagi masyarakat setempat.

Masalah meningkatnya jumlah lajang juga terjadi di Korea. Dilansir tirto.id, pada 2015, berdasarkan survei Institut untuk Kesehatan dan Sosial Korea, 90 persen laki-laki dan 77 persen perempuan usia 25-29 tahun masih berstatus lajang. Populasi usia 30-34 tahun yang belum menikah sebanyak 56 persen, dan yang berumur 40-45 tahun sebesar 33 persen.

Akibat meningkatnya jumlah lajang di Korea Selatan dan banyaknya pasangan menikah untuk memiliki anak, maka angka kelahiran di Korea Selatan mencatatkan rekor terendah tahun 2020. Jumlah bayi yang baru lahir tercatat 272.400 pada 2020, turun 10 persen dari tahun sebelumnya, menurut Statistics Korea. Angka itu turun di bawah 300.000 untuk pertama kalinya sejak data mulai dihimpun pada 1970 seperti dilansir dari kompas tv.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun