Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja masih menuai kritik meski sudah disahkan menjadi Undang-undang. Salah satu hal yang menjadi fokus penolakan para buruh adalah adanya pekerja kontrak outsourcing dengan kontrak seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan serta dihilangkannya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Namun pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar terkait dengan outsourcing tidak pada status seumur hidup namun hanya dalam rangka menyelesaikan pekerjaan tertentu saja. Pada dasarnya hal ini dilakukan oleh perusahaan jika ada pekerjaan ekstra yang harus dilakukan tanpa menambah jumlah pegawai tetapnya, dengan begitu perusahaan dapat memaksimalkan keuntungan dan juga penggunaan dana untuk produksi. Selain itu pekerja outsourcing juga akan dibayar berdasarkan skill yang dimiliki oleh pekerja tersebut, sehingga tidak asal diberikan gaji rendah.
Terkait dengan UMK pada dasarnya masih ada namun hal tersebut memperhatikan beberapa faktor seperti laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga bertujuan untuk mengontrol tingkat pengangguran di suatu provinsi, jika pada suatu provinsi tingkat pengangguran tinggi dan UMK pada wilayah itu juga tinggi, maka dapat disimpulkan pada wilayah tersebut pada umumnya perusahaan melakukan efisiensi dengan memperkerjakan sedikit karyawan karena UMK yang terlalu tinggi. Dengan begitu tingkat pengangguran pada daerah tersebut akan tetap tinggi dan pada akhirnya menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah. Alasan ini lah yang menyebabkan mengapa pada beberapa daerah UMK ditiadakan.
Saat ini resistensi terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja memicu berbagai elemen masyarakat untuk melaksanakan aksi unjuk rasa, termauk kelompok pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan konsolidasi kekuatan serta pergerakan massa dalam jumlah besar baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga berpotensi memicu aksi anarkis dan kerusuhan, mengingat tingginya militansi terutama kelompok pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Kondisi tersebut berpotensi semakin memperburuk situasi nasional ditengah pandemi Covid-19, menurunkan kualitas iklim usaha dan investasi Indonesia, serta berpotensi mengancam stabilitas politik, hukum, ekonomi, hingga keamanan di dalam negeri.