Sebelumnya pemerintah menargetkan menjadikan desa wisata sebagai basis pembangunan ekonomi kreatif. Mengingat cukup banyak produk-produk desa wisata yang mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat desa. Dusun Pentingsari sudah lebih dari lima tahun berpredikat desa wisata. Aset yang ditawarkan adalah iklim dan sausana khas pedesaan dengan budaya Jawa yang sangat kental.
Setelah Gunung Merapi dinyatakan aman dan aktivitasnya benar-benar menurun, warga Dusun Pentingsari kembali bergairah memasarkan pariwisata dusun itu. Yang menjadi persoalan, dalam pandangan saya, apa yang diungkapkan para pejabat pemegang otoritas pengelolaan pariwisata itu tak memperhatikan efek negatif pengembangan desa wisata.
Saya mengamati, di dusun kelahiran saya itu kini memang semakin dikenal, tak hanya di tingkat regional, tapi juga nasional dan internasional. Hampir tiap akhir pekan ada rombongan tamu yang datang dan menginap di homestay di rumah-rumah warga Dusun Pentingsari. Roda perekonomian makin kencang berputar. Wajah desa makin cantik karena pemerintah begitu murah hati memberikan bantuan pengembangan fisik dusun dan penataannya.
Tapi, ada aspek lain yang menurut saya justru berbahaya bagi eksistensi aset wisata budaya di dusun saya itu. Aspek yang berbahaya itu adalah masuk dan makin meresapnya budaya kapitalistik di dusun saya itu. Kini, warga dusun saya itu selalu berhitung untung-rugi, selalu berhitung berapa rupiah keuntungan yang akan diperoleh ketika ada tamu yang menginap di homestay.
Memang aspek ini belum kentara dan belum menjadi budaya--dan saya harap jangan sampai demikian, tapi logika ini jika dibiarkan berkembang akan sangat berbahaya bagi kebudayaan asli dusun saya itu. Sebagai kawasan di kaki/lereng Gunung Merapi dan pekat dengan budaya Jawa, warga Dusun Pentingsari masih berpegang pada tata nilai kejawaan berupa menyatu dengan alam, saling menghormati, tak mendewakan uang, saling tolong-menolong, meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dan sesungguhnya, inilah kekayaan sejati Dusun Pentingsari yang kemudian menjadi aset tak tenilai ketika dusun itu dikembangkan menjadi desa wisata.
Nah, aset inilah yang terancam tergerus oleh budaya bergitung untung-rugi sebagai imbas masuknya "uang" dalam nilai yang semakin besar seiring makin dikenalnya dusun itu sebagai desa wisata. Berdasar teori tentang neoliberalisme yang merupakan anak kandung kapitalisme, salah satu ciri masyarakat yang kapitalistik adalah selalu berhitung untung-rugi dalam logika pertukaran uang. Masyarakat kapitalistik akan selalu mendasarkan aktivitas mereka pada logika transaksional, setiap bertindak harus ada uang yang diterima. Inilah gejala yang muncul seiring pengembangan dusun kelahiran saya menjadi desa wisata.
Dan potensi aspek negatif seperti ini pasti tak masuk dalam kalkulasi atau strategi pemerintah dalam konteks pengembangan desa wisata. Demi mengantisipasi hal ini, saya memilih menyosialisasikan pemikiran saya ini kepada generasi muda di dusun saya itu yang kini menjadi tulang punggung pengelolaan dan pengembangan dusun menjadi desa wisata. Dan mereka sepakat dengan hal itu, dan sepakat pula untuk mengantisipasinya sejak dini.
Mereka, para pemuda yang lahir dan tumbuh di lereng/kaki Gunung Merapi, tak rela budaya asli mereka yang membentuk karakter kemanusiaan mereka sebagai wong Jawa tergerus oleh budaya kapitalisme. Mereka sepakat untuk membalik keadaan menjadi mengenalkan budaya mereka kepada masyarakat kapitalistik agar mereka tahu bahwa di sana, di kaki/lereng Gunung Merapi, ada komunitas masyarakat yang punya pola pikir jauh lebih manusiawi.