Mohon tunggu...
Ichsan Andika
Ichsan Andika Mohon Tunggu... Lainnya - ...selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Ernst Schnabel meninggal 25 Januari 1986. Siapa tau ada hubungannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tapak Petilasan Sabrang Wetan

27 Maret 2020   09:31 Diperbarui: 27 Maret 2020   09:47 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dimas..."

Adikku sedang termenung diatas karang. Ia berjongkok bersandarkan pada tongkatnya. Pandangannya lurus ke seberang laut, yang ombaknya bagai bernapas maju mundur di bibir pantai. Janggutnya hitam panjang sampai ke dada. Lirih panggilanku nampaknya tak terdengar olehnya, tersapu angin laut.

"Dimas, aku baru saja kembali dari pertemuan. Ada yang perlu aku sampaikan padamu."

Kepalanya menengok lemah. Ia bahkan tidak mengarahkan bola matanya padaku. Lumpur butek dalam hatinya masih belum bisa ia sapu.

"Kangmas, mereka tak ingin aku terlibat sedari awal. Dalam rangka apa engkau sampaikan kabar dari pertemuan itu?"

"Duh, Dimas, jangan merengut seperti itu! Kau ini terlalu pendek sumbunya. Belum sempat kami jelaskan alasan, tiba-tiba naik pitammu."

"Cukup, Kangmas. Lidahmu pintar menari, lidahku kaku. Sampaikan saja apa yang seperlunya. Bukan hanya sumbuku yang pendek, liang telingaku ini juga."

Hah, sulit sudah kalau hatinya mengeras melebihi karang tempatnya berpijak. Apalagi dirinya selalu saja beralasan ada bara gaib menggelantung di lidahnya. Ya, ada benarnya juga. Sudah tak bisa bermanis mulut, panas pula pilihan kata-katanya.

"Kami sepakat mengajukan tiga alternatif, Dimas. Pembahasan kami panjang dan berbelit, hingga mampu tiba pada tiga alternatif itu. Jika kau terlibat dari awal, Dimas, maka beban kerjamu menjadi-jadi. Kami ringankan bebanmu, Dimas, dengan tak perlu ikut bahasan sedari awal. Kau sebagai pemimpin dan pembuka jalan, dipersilakan memilih salah satu. Satu pilihanmu itulah keputusan bersama yang akan kami jalankan."

"Dipersilakan? Maksudmu, diperintahkan?"

"Ya Tuhan Maha Esa, ampunilah aku dan adikku atas dosa keras kepala kami, Ya Tuhan...!!!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun