Mohon tunggu...
Ichsan Andika
Ichsan Andika Mohon Tunggu... Lainnya - ...selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Ernst Schnabel meninggal 25 Januari 1986. Siapa tau ada hubungannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tapak Petilasan Sabrang Wetan

27 Maret 2020   09:31 Diperbarui: 27 Maret 2020   09:47 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otakku berpikir keras. Jika Nabi Musa mendapat bisik dari Jibril bahwa orang itu adalah Iblis, maka dia adalah Iblis. Jibril tak dibekali oleh Allah SWT kemampuan untuk berdusta. Memang Bani Israil saja yang otaknya bengal. Tapi, ada benarnya juga kekhawatiran adikku ini tentang umat yang imannya masih lemah.

"Kanjeng Nabi, usulku kalau boleh, lebih baik kita bincangkan dengan Iblis. Keberadaannya semata saja sudah menjadi godaan bagi umat-Nya. Apalagi kalau kita biarkan dia berlama-lama diantara kita. Semakin cepat kita tahu apa maksud dirinya kesini, semakin baik untuk pertimbangan kita memutuskan nasibnya kedepan."

Malam semakin gelap. Cahaya bulan dan semburat api unggun masih berjaya, hanya penerangan kemah-kemah yang berkurang. Usulku diterima Kanjeng Nabi, kami berjalan kearah Iblis untuk interogasi. Kami putuskan untuk dilakukan sekarang karena sedang sepi-sepinya. Setelah kami tiba ditempat Iblis mendekam, kepala regu patroli kusuruh menyingkir sebentar, agar isi pembicaraan ini tak jadi desas-desus di masyarakat.

"Hei, Iblis." Dimas Musa memanggil. "Tak perlu bermain peran lagi. Lepaskan dirimu dari rantai lemah itu!"

Terdengar bunyi denting kecil, lalu tangan Iblis bergerak sekedarnya menikmati kebebasan. Rantai yang pecah jatuh begitu saja didekat patok. Iblis berdiri tegak memungguni nyala api dibelakangnya. Siluet hitam kekar tinggi berada di hadapan kami. Ia mematung ditempatnya berdiri.

"Sujud kau dihadapanku!"

Pandanganku beralih pada Adimas Musa. Entah apa yang membuatnya menjatuhkan perintah begitu pada Iblis.

"Sujud kau, atau kupecahkan kepalamu saat ini juga!" Tongkat sakti beliau siap diayunkan. Meskipun Iblis lebih tinggi dari Nabi Musa, tapi kepala Iblis sudah dalam jangkau ayunan bonggol tongkat.

"Ya Nabiyullah," Iblis angkat suara, "maaf jika aku kurang santun padamu. Namun, coba kau pikirkan kembali 2 hal ini. Pertama, Allah sudah menjamin usiaku dipanjangkan hingga kiamat nanti. Dan, kau tahu sendiri, Sang Penutup para Nabi belum turun di bumi. Jadi, kau tak bisa sembarang mengubah takdirku, meskipun derajatmu jauuuuh diatasku."

Bunyi bara api meletik seperti bersemangat menyambut kalimat-kalimat Iblis.

"Kedua, jangankan kepadamu atas perintahmu, kepada moyangmu atas perintah Allah saja kutawar! Mau taruh dimana mukaku jika kuturuti perintahmu, Ya Nabi..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun