Mohon tunggu...
Ichsan Andika
Ichsan Andika Mohon Tunggu... Lainnya - ...selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Ernst Schnabel meninggal 25 Januari 1986. Siapa tau ada hubungannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sang Pembawa Api di Alun-alun

13 Maret 2020   15:01 Diperbarui: 13 Maret 2020   15:00 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Iblis laknat! Sukertaning bawono! Menungso ora tatanan! Wani ngilani dadane Prabu Bolodewo kowe? Gelandang Nenggolo ora pecah ndasmu dadi papat ojo diundang Bolodewo, keparat!*”

Gayeng. Penonton bersorak melihat sosok wayang warna jambon itu melesat keluar pakeliran. Pasewakan dibubarkan dalang, gamelan melenting-lenting nadanya membarengi ajang tempur yang hendak digelar. Empat orang pemuda yang sedang duduk di bakul bakso sampingku sampai berhenti menyuap. Mereka menanti sabetan lincah dalang saat Baladewa menyiksa musuhnya. Rokokku di tangan juga belum lagi kuisap, abunya melengkung belum kusentil.

Pakeliran kini hanya diisi sosok Baladewa yang sedang sumbar-sumbar, memaki-maki buto yang sebentar lagi jadi mayat. Semakin keras makian Baladewa, semakin bersorak penonton, semakin napsu sang dalang menggetar-getarkan gapit dan kecrekan. Tak terbayang betapa mencuat urat leher dalang saat menyerukan suara tokoh ini.

Benar saja, hanya sebentar nasib buto itu sebelum lumat digiling pusaka Nenggala. Kali ini, Prabu Narayana tak perlu turun tangan membantu strategi perang kakaknya. Cukup dikejar Baladewa, ditangkap, digebuki, lalu ditiban senjata pamungkas. Selesai perkelahian. Penonton pun sorak-sorai.  Hatiku pun puas, Baladewa Berjaya. Kini rokokku bisa kuhisap lagi.

“Aneh Baladewa itu.”

Seorang bapak-bapak berbaju hitam-hitam berbicara tanpa teman. Ia duduk disamping kananku, entah sejak kapan. Karena kebetulan kami bertatap muka, maka kuanggap ia sedang memancing pembicaraan denganku. Lakon sedang budalan, gamelan diatur agar menyerupai derap-derap langkah prajurit. Tak terlalu menarik untukku, jadi kualihkan saja perhatianku pada bapak disampingku ini.

“Aneh bagaimana, Pak?”

“Itu, sumbar-sumbarnya.” Tangannya menjulurkan bungkus rokok 3 digit. Ia perhatikan puntung di tanganku tak patut lagi kuhisap, baranya nyaris kena jemariku. Segera kusentil puntung itu dan kusambut tawarannya. Terasa hangat jari bapak itu, sebelum kubilang terima kasih.

“Memang begitu, Pak. Baladewa kalau sedang ngamuk tak ingat status sebagai Raja Mandura.” Mungkin bapak ini belum lama tertarik nonton wayang. Jadi, ada baiknya kubabarkan pengetahuanku tentang tokoh satu itu. “Isi kepalanya hanya membantai musuh yang membuat resah hatinya. Terkadang ia di jalur yang benar, terkadang luput dan gelap mata.”

Bapak itu menatapku tajam seolah meminta penjelasan lebih lanjut. Ada percik ganjil dari matanya. “Jika sudah melenceng, biasanya Kresna yang akan membimbing kembali ke jalan lurus.” Baladewa bukan favoritku, kemunculannya tak pernah kunanti. Berbeda dengan Antasena atau Wisanggeni. Tapi, kalau muncul ia, pasti aku girang dibuatnya. Cukup untuk membuatku mengerti banyak tentang tokoh ini.

Bapak ini tersenyum, lalu menggeleng. “Maksudku bukan itu, Mas.” Pantat puntung ia selipkan ke bibirnya, lalu ia Tarik panjang asap kedalam tenggorokan. Panjang sekali macam nikmat tak berputus. Lalu ia hembus asapnya sedikit saja. “Ia melaknat-laknat iblis. Macam kenal saja dia.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun