Mohon tunggu...
Ibrohim Abdul Halim
Ibrohim Abdul Halim Mohon Tunggu... Konsultan - Mengamati Kebijakan Publik

personal blog: ibrohimhalim.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Deflasi di Tengah Resesi, Baik atau Buruk?

25 Agustus 2020   07:25 Diperbarui: 25 Agustus 2020   07:21 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi transaksi ekonomi (mediaindonesia.com)

Sudah banyak yang membahas bahwa Perekonomian Indonesia kuartal II 2020 mengalami kontraksi 5,32%. Namun, sedikit yang melihat bahwa di waktu yang sama (Juli 2020), ekonomi Indonesia juga mengalami deflasi sebesar 0,10%.

Bagi para ekonom, kombinasi resesi dan deflasi adalah mimpi paling buruk. Resesi membuat kapasitas perekonomian menyusut, dan deflasi (penurunan harga-harga) membuat kemampuan untuk rebound menjadi sangat kecil.

Ketika terjadi deflasi, profit margin perusahaan mengecil, hingga suatu titik di mana perusahaan perlu melakukan efisiensi tenaga kerja. Keinginan untuk investasi juga tentu akan turun, mengingat lemahnya permintaan sebagai penyebab dari terjadinya deflasi.

Dalam kurva Supply & Demand sederhana, deflasi dan resesi terjadi ketika kurva Demand turun, sehingga keseimbangan baru terletak pada harga dan output yang lebih rendah.

Dari sisi konsumen, deflasi menyebabkan munculnya spekulasi dan penundaan belanja. Apabila inflasi mendorong konsumen belanja saat ini demi menghindari harga tinggi di kemudian hari, deflasi menyebabkan konsumen menunggu untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Sehingga konsumsi terhambat.

Dari sisi perbankan, distribusi dana kepada sektor usaha tentu akan ditahan, mengingat tingginya potensi gagal bayar akibat lemahnya permintaan. Perbankan akhirnya memilih untuk meletakkan dana di surat utang negara. Dampaknya, dunia usaha sulit bangkit karena macetnya stimulus kredit.

Lalu apa yang dilakukan pengambil kebijakan? Mainstream kebijakan untuk menangani resesi dan deflasi adalah pemberian stimulus besar-besaran. Amerika misalnya, terkenal dengan program quantitative easing yang pada dasarnya adalah usaha untuk mendongkrak perekonomian agar kembali mencapai inflasi pasca kehancuran pasar perumahan.

Indonesia pun menjalankan hal yang sama dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional. Masalahnya, dalam kondisi tidak punya uang, ya terpaksa harus utang. Pembayaran bunga utang akhirnya menjadi salah satu pos belanja yang mengalami kenaikan paling signifikan secara persentase pada APBN 2021 nanti.

Tentu ada perspektif lain dalam melihat deflasi.

Bagi sebagian pandangan alternatif, deflasi pada dasarnya adalah detoksifikasi yang dibutuhkan untuk "membunuh" para spekulan dan memecahkan gelembung harga. Kembali ke contoh Amerika, deflasi memang menyebabkan harga rumah merosot tajam sehingga banyak orang kehilangan aset, namun ternyata tingginya harga rumah yang dibanggakan sebagai indikator pertumbuhan hanyalah gelembung (bubble) akibat tingginya spekulasi.

Peningkatan pembelian rumah didorong sedemikian rupa melalui pemberian kredit murah tanpa kehati-hatian, bahkan seorang pekerja bar bisa memiliki 2-3 rumah, semua ini dalam rangka window dressing perekonomian. Semua terkesima dengan pesatnya pertumbuhan, sampai akhirnya gagal bayar berlanjut deflasi datang untuk menyadarkan semua orang.

Dari sisi konsumen, deflasi memang disebabkan rendahnya permintaan, tapi deflasi itu juga lah yang berpotensi kembali meningkatkan daya beli. Proses alamiah ini mencerminkan rasionalitas konsumen, di mana mereka menginginkan harga yang murah akan suatu barang/jasa.

Pada periode yang sama dengan deflasi (Juli 2020), Survei konsumen Bank Indonesia mencatat kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen dari 83,8 menjadi 86,2. Artinya, pada harga yang sedang turun, konsumen kembali percaya diri untuk belanja. Dan ini rasional.

Bagi perusahaan, melihat harga yang rendah dan permintaan yang sedang menggeliat bangkit, ini menjadi momentum untuk meningkatkan inovasi. Harga bahan baku yang sedang rendah juga bisa meningkatkan efisiensi biaya, sehingga tidak diperlukan efisiensi tenaga kerja.

Yang terlihat paling bisa menangkap peluang ini adalah perusahaan teknologi (Handphone, Laptop, dan gadget lainnya), di mana inovasi memungkinkan mereka untuk menjual barang dengan kualitas bersaing tapi dengan harga lebih murah. Saya kaget ketika melihat iklan ada produsen yang mampu menjual produk Smart TV 43 inchi dengan harga hanya Rp 3,3 juta.

Peningkatan konsumsi akibat turunnya harga mendorong perusahaan untuk kembali berekspansi. Survei kegiatan Dunia Usaha BI mencatat terjadi kenaikan kredit pada Juli menjadi 2,27%, dibanding Juni yang hanya 1,49%. Artinya, optimisme itu mulai muncul justru pada saat deflasi terjadi.

Tentu saja, mengaitkan semua optimisme ini dengan deflasi semata tidaklah tepat. Pasti ada dampak positif dari stimulus Pemerintah yang mulai banyak terealisasi pada kuartal III ini, serta pelonggaran PSBB yang mendorong orang kembali beraktivitas.

Namun, poinnya adalah deflasi mungkin bukan ide yang begitu buruk. Alih-alih misalnya menurunkan suku bunga untuk mendorong inflasi dan membiarkan efektivitas kebijakan moneter turun, pengambil kebijakan mungkin bisa sekedar wait and see menghadapi deflasi ini. Karena, dalam kondisi sulit, peningkatan konsumsi hanya bisa terjadi jika ada guyuran pendapatan (stimulus) atau penurunan harga.

Stimulus itu seperti obat, menyehatkan dalam dosis yang tepat. Adapun deflasi lebih seperti mekanisme alamiah muntah, tidak enak tapi diperlukan untuk mengeluarkan racun dan membuat kita kembali segar. Dalam perekonomian yang sedang masuk angin, keduanya mungkin diperlukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun