Dulu, ketika satu keluarga membangun rumah, tetangga berdatangan membawa cangkul, makanan, dan doa. Ketika panen tiba, sawah dipenuhi tawa, bukan hanya suara mesin. Tapi kini, di era digital dan serba cepat, gotong royong perlahan menjadi nostalgia. Padahal, lebih dari sekadar kerja bersama, gotong royong adalah nadi kehidupan sosial bangsa ini---jiwa dari Indonesia itu sendiri.
Pertanyaannya: apakah gotong royong masih relevan hari ini? Ataukah kita sedang menyaksikan kematiannya yang perlahan, digantikan oleh kontrak, sistem upah, dan kesibukan pribadi?
Gotong Royong dan Modernitas
Gotong royong bukan sekadar istilah dalam buku pelajaran PPKn. Ia adalah nilai hidup yang terwujud dalam keseharian masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Namun, arus modernitas membuat nilai ini tergerus. Laporan Litbang Kompas tahun 2022 mencatat, 62% responden usia muda (18--30 tahun) mengaku belum pernah terlibat dalam kegiatan gotong royong di lingkungan tempat tinggalnya.
 Budaya Serba Bayar
Kemajuan teknologi dan ekonomi memang memberi kenyamanan, tapi juga melahirkan jarak sosial. Dulu, warga desa rela meninggalkan pekerjaan pribadinya demi menolong tetangga. Kini, urusan bantuan pun serba profesional. Semua dihitung sebagai jasa yang harus dibayar. Tukang ganti atap, pemotong rumput, hingga penggali kubur, kini berstatus penyedia jasa bukan relawan sosial.
Kondisi ini diperparah oleh gaya hidup urban yang kian menular hingga ke pelosok. Media sosial menampilkan kehidupan individualistik sebagai standar keberhasilan, membuat banyak orang lupa bahwa hidup bersama lebih membahagiakan daripada hidup bersaing.
Urbanisasi dan Erosi Kolektivitas
Urbanisasi besar-besaran juga memicu krisis partisipasi sosial. Anak-anak muda desa pindah ke kota, dan yang tersisa adalah generasi tua yang tak lagi mampu mengangkat cangkul. Tradisi seperti sambatan (bekerja tanpa upah) menghilang digantikan sistem kontrakan dan tender. Di kota, keterasingan semakin kuat. Kita hidup bersebelahan, tapi tidak saling mengenal.
Padahal gotong royong bukan hanya tentang kerja bakti. Ia adalah pembentuk kepercayaan sosial (social capital) sebuah aset tak kasat mata yang sangat dibutuhkan bangsa ini di tengah krisis kepercayaan dan maraknya konflik horizontal.
Menghidupkan Kembali Gotong RoyongÂ