Mohon tunggu...
Abdul Karim Abraham
Abdul Karim Abraham Mohon Tunggu...

Anak Muda Bali yang BEBAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memertanyakan Branding Singaraja Sebagai Kota Pendidikan

3 Juni 2015   14:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:22 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi siapapun yang memasuki Kota Singaraja, pasti akan disambut dengan tulisan “Selamat Datang Di Kota Singaraja Kota Pendidikan”. Branding kota pendidikan ini mulai terpampang di baliho-baliho sejak zaman Bupati Bagiada, dimana saat itu keinginan menjadikan Singaraja sebagai Kota Pendidikan sangat kuat. Pewacanaan ini selalu mengemuka lantaran historioritas kota Singaraja yang melahirkan banyak tokoh-tokoh penting di Bali bahkan nasional.

Sebagaimana diketahui, Kota Singaraja dikenal sebagai kota sejarah dari perkembangan modernisasi pemerintahan dan majunya pemikiran rakyat Bali. Di kota ini pernah menjadi Pusat Pemerintahan Bali, dan jauh sebelum Indonesia merdeka, sekolah-sekolah sudah berdiri disini. Dengan tingkat pendidikan yang di dapat penduduk Singaraja dibandingkan daerah lain di Bali, untuk pertama kalinya lahir surat kabar / bulletin yang digagas oleh rakyat Singaraja. Sebut saja Buletin Bali Adyana dan Surya Kanta, yang hingga kini arsipnya masih tersimpan rapi di museum Buleleng.

Namun, kini branding yang dipakai kota Singaraja tersebut justru hanya sebagai slogan-slogan yang tanpa implementasi. Kenapa? Karena indicator dari branding tersebut justru tidak jelas. Apakah tolak ukurnya hanya adanya Perguruan Tinggi atau sekolah-sekolah? Jika ini yang menjadi alasan, Kota Denpasar jumlah Universitas dan sekolahnya lebih banyak. Belum lagi jika dibandingkan dengan kota-kota lain seperti Jogja dan Malang. 

Belum lagi jika dikaitkan dengan atmosfir lingkungan kota singaraja untuk membangkitkan semangat ber-intelektual. Pemerintah bukannya memperbanyak pameran-pameran buku, atau mendorong angkatan mudanya untuk datang ke perpustakaan, melainkan malah memperbanyak festival-festival dengan suasana yang hedonistik.

Hal ini juga sejalan dengan suasana aktivitas organ-organ mahasiswa intra kampus. Dimana HMJ dan BEM justru lebih sibuk mengadakan konser-konser musik dari pada diskusi-diskusi ilmiah.   

Sebagai warga yang lahir dan menetap di Buleleng, saya tidak menemukan turunan aksi dari branding Singaraja sebagai Kota Pendidikan. Tidak usah terlalu jauh, dari tahun ke tahun angka pelajar yang tidak lulus saat UN masih tinggi (kecuali tahun 2015 lulus 100 persen, karena yang menentukan lulus tidaknya sekolah masing-masing). Atau kita mempertanyakan seberapa besar peran Pemerintah Kabupaten Buleleng mendorong / memotivasi angkatan pelajarnya untuk terus study hingga Perguruan Tinggi?

Bagaimanapun, branding Kota Pendidikan sangatlah bagus, namun tidak hanya pada slogan-slogan yang kosong aksi. Dan saya berharap branding tersebut didengung-dengungkan bukan karena romantisme sejarah semata, melainkan untuk memacu ketertinggalan dari daerah lain. Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun